Pusat Unggulan Iptek Hasilkan Obat Penderita Kanker Yang Jauh Lebih Murah
7 Desember 2016
Pusat Unggulan Iptek (PUI) Radiobiomolekul–BATAN, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sukses menghasilkan obat pereda nyeri untuk penderita kanker stadium lanjut. Harga obat Radiofarmaka 153Sm-EDTMP dan Kit radiofarmaka methylene diphosphonate (MDP) ini sangat murah ketimbang obat dengan fungsi sejenis yang berasal dari luar negeri yang selama ini sering dipakai di sejumlah rumah sakit Indonesia.
Radiofarmaka dibanderol Rp 1 juta untuk sekali suntik dan bisa bertahan selama 1 bulan. Sementara obat yang lazim dipakai saat ini membutuhkan biaya minimal Rp 10 juta untuk sekali suntik dengan daya tahan hanya untuk sehari. Radiofarmaka berfungsi untuk meredakan nyeri akibat kanker yang sudah menyebar ke tulang.
“Penelitian obat ini dimulai awal tahun 2000 dan mendapat pengakuan dari BPOM pada 2008. Pada 2014 mulai resmi dipakai di rumah sakit yang memiliki fasilitas nuklir seperti RS Darmais dan Harapan Kita,” ucap Kepala Pusat Radiobiomolekul BATAN, Siti Darwati, di Kantor Kemenristekdikti Gedung D, Jakarta, Rabu, 7 Desember 2016.
Ia menjelaskan, pada penderita kanker dengan stadium lanjut 3-4, sel kanker akan menyebar ke bagian tubuh lain. Dalam banyak kasus, tulang merupakan salah satu tempat terjadinya penyebaran kanker. Ia menyatakan, Kit radiofarmaka methylene diphosphonate (MDP) merupakan sediaan kering steril dan bebas pirogen yang diperoleh melalui proses kering beku (freezed-drying).
Sediaan radiofarmaka ini digunakan pada untuk pemeriksaan adanya sebaran kanker di dalam tulang. Diagnosis ini sangat diperlukan dalam penentuan stadium penyakit kanker seorang penderita. “Produk litbang kami harus didukung dan dikontrol secara ketat oleh Badan POM. Karena yang dikembangkan adalah produk larutan injeksi. Harus lolos dulu di uji preklinis terhadap hewan. Setelah itu lolos uji klinis kepada manusia. Kalau sekarang sampai pada tahap hilirisasi itu adalah hasil dari proses yang panjang,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dibandingkan dengan obat pereda rasa nyeri lain seperti morfin yang mengakibatkan kecanduan, produknya bisa bertahan lebih lama dari morfin. Produk pereda nyeri tersebut sudah digunakan di beberapa rumah sakit. “Jadi selain lebih ekonomis, obat ini juga tak menimbulkan kecanduan. Dan yang paling penting, obat ini hasil karya anak bangsa,” katanya.
Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti, Kemenristekdikti, Patdono Suwignjo menyatakan, sesuai amanat dari Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2015-2019), bahwa peranan Iptek diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional. Saat ini telah ada 45 lembaga litbang unggul dan 19 di antaranya berstatus dan ditetapkan sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI). “Termasuk teknologi kesehatan dan obat,” kata Patdono.
Ia mengatakan, selain sebagai betuk pertanggungjawaban kepada publik, rangkaian produk PUI merupakan upaya lembaga litbang untuk menunjukkan kinerja terbaiknya dalam menguatkan Indonesia unggul dan inovatif. Selain penemuan obat kanker tersebut, produk unggulan inovatif lainnya yakni Klaster PUI Bidang Energi yang menghasilkan alternatif energi yang sangat potensial sebagai pengganti minyak.
“Konsumsi pemakaian bahan bakar minyak di Indonesia sendiri mencapai 1.800 barel per hari, ada defisit minyak bumi sekitar 800 barel per hari yang pemenuhannya masih import. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi di Indonesia karena lapangannya sendiri sudah tua, lalu bagaimana upaya pemerintah memproduksi kembali ketika lapangannya sudah tua? Salah satunya melalui EOR ini. Metodenya injeksi chemical berbasis anionik dari minyak sawit. Ini sudah diimplementasikan di lapangan milik Pertamina di daerah Kalimantan Selatan,” kata Agatha Maria, peneliti Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB.