Sang Ayah Jadi Kadaver, Putri Dosen UGM ‘Ziarah’ Kubur ke Laboratorium Anatomi

Thu, 07/31/2014 – 14:17

Jakarta, Kemdikbud — Hari Raya Idul Fitri atau akrab disebut lebaran, identik dengan bersilaturahim dan melakukan ziarah kubur. Di Indonesia, banyak yang bersilaturahim atau melakukan ziarah kubur meski harus menempuh jarak jauh, bahkan lintas pulau. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh melihat ziarah kubur sebagai sebuah aksesoris yang bersifat spiritual dalam merayakan Idul Fitri.

“Meskipun berdoa tidak mengenal jarak dan posisi, tapi ada budaya yang disebut proximity culture, kedekatan. Jadi ziarah kubur menjadi tradisi karena adanya kebutuhan secara jarak psikologis, juga fisik. Jadi ada hubungan psikofisik,” katanya beberapa waktu lalu.

Namun kondisi berbeda dialami Sachiko Mawaddah Lestari, putri tunggal dari almarhum Fitri Mardjono, Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada (UGM). Sachiko melakukan ziarah bukan dengan mengunjungi makam almarhum ayahnya, melainkan dengan mengunjungi Laboratorium Anatomi di kampus Fakultas Kedokteran (FK) UGM.

Sesuai wasiat almarhum Fitri Mardjono sebelum meninggal dunia pada Juli 2011 lalu, jasadnya dijadikan sebagai kadaver yang disumbangkan ke FK UGM untuk dimanfaatkan sebagai bahan pendidikan atau ilmu pengetahuan. Kadaver adalah jasad manusia yang telah diawetkan dan digunakan untuk belajar anatomi di fakultas kedokteran. Sehingga selama tiga tahun ini, Sachiko belum pernah melakukan ziarah kubur, dan baru tahun ini ia berziarah ke Laboratorium Anatomi FK UGM. (baca : Dosen Teknik UGM Donorkan Jasadnya Untuk Ilmu Pengetahuan)

“Nggak apa-apa sih. Kan nyekar (ziarah) juga nggak bisa liat jasadnya. Berdoa bisa di mana aja dan kapan aja. Karena itu juga sudah amanat Bapak, dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Suatu hari nanti jika sudah selesai tugasnya sebagai kadaver, tentunya akan dimakamkan juga,” ujar Sachiko saat diwawancarai melalui telepon selular, Kamis, (31/07/2014).

Ia mengatakan, pada awalnya yang memiliki niat untuk menyumbangkan jasad dirinya sebagai kadaver adalah sang ibunda, Pangesti Wiedarti, dosen Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Namun pada kenyataannya, justru sang ayah yang lebih dahulu dipanggil Tuhan. “Tadinya mamaku yang berminat begitu. mamaku kan dulu ikut KSR di kampus. Kalau di sekolah namanya PMR (Palang Merah Remaja). Sempat studi banding ke palang merah Jepang juga. Jadi sudah akrab sama istilah donor-mendonor. Bapak yang tahu niat mama buat wakafin jenazahnya nanti, suatu hari tiba-tiba memutuskan hal yang sama,” tutur perempuan yang akrab dipanggil Chiko ini.

Tahun ini adalah pertama kalinya Chiko berziarah ke Laboratorium Anatomi FK UGM. Namun ia tidak masuk ke dalam laboratorium, melainkan hanya berhenti di depan laboratorium tempat jasad ayahnya disemayamkan itu. “Aku juga nggak pengen lihat kondisi jasadnya. Karena aku berusaha menyamakan kondisi seperti keluarga orang lain yang dimakamkan,” katanya. (Desliana Maulipaksi)