Terjadi diskusi menarik dengan salah seorang dosen kita (dari Fak Hukum) di salah satu sudut GDI, topiknya seputar keabsahan surat pernyataan <tidak terima double beasiswa> tanpa meterai yang dibuat para penerima beasiswa Dikti.

From : Hanifah Sxxxx

Nah mengenai nilai atau kekuatan alat bukti inilah, secara Hierarki perundangan di Indonesia, kekuatan mengikat sebuah surat/akta yg tertinggi ada pada akta otentik (yaitu akta yg dibuat dihadapan atau oleh pejabat yg berwenang) dan kemudian akta dibawah tangan (baru akan dianggap benar isinya, jika diakui kebenarannya oleh para pihak yg membuat/menandatangai), ini ada penjelasan menarik dari :
Jaringan Dokumentasi dan Informasi, BPK RI
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Meterai&SahnyaPerjanjian.pdf

Mengenai fungsi materai, dapat dilihat pada:
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1985/13TAHUN~1985UU.HTM
Berdasarkan UU tersebut, dinyatakan bahwa bea meterai adalah PAJAK ATAS DOKUMEN, termasuk di dalamnya surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan TUJUAN untuk digunakan sebagai ALAT PEMBUKTIAN mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

Let see ketentaun Pasal 11-nya bu,
(1) Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
b. melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.

Nah penyataan bu Nur “Dengan kata lain kalo disimpan Dikti sebagai dokumen (dalam hal ini surat pernyataan oleh para pelamar beasiswa) harus bermeterai, kalo tidak ya agar tidak melanggar lebih baik dinamakan koleksi hasil pelatihan membuat “surat pernyataan”” —> artinya ialah melanggar peraturan ttg BEA MATERAI dan BUKAN MEMBATALKAN KEABSAHAN ISI surat pernyataan itu sendiri 🙂

ini sekilas info teori hukumnya bu nur ^,^

>>>

Tanggapan saya :
From : Nurfitri Thio

Bu Hanifah Sxxxx yang baik,
Ini baru ada waktu baca bahan diskusi kita tadi pagi (bahan BPK RI) dilanjuti ke materi KUHPer terkait. Terima kasih telah meluruskanBENAR yang disampaikan Bu Hanifah Sxxxx(jempol!). Surat Pernyataan yang tak bermeterai tidak lantas lenyap keabsahan hukumnya, ketiadaan meterai hanya berpengaruh pada tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.

Hasil bacaan tadi :
Menurut KUHPer Buku keempat – Pembuktian dan Kedaluwarsa:

Pasal 1866
Alat-alat Bukti terdiri atas
a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Pasal 1867
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
Pasal 1868
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat
Pasal 1874
Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Pasal 1875
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan buktilengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka.
Yurisprudensi MA tgl 03-12-1974 Bi, 1043/K/Sip/1971
Kekuatan bukti surat yang tanda tangannya diakui:
Dalam surat perjanjian sewa menyewa penggugat mengakui telah menerima dari tergugat penyetoran sebanyak Rp. 1.625.000,- sebagai pembayaran kontrak sewa dan tanda tangan dalam perjanjian ini diakui sebagai tanda tangannya sendiri. Dengan adanya pengakuan tersebut menurut ps 1875 BW, surat perjanjian itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang isinya seperti akte otentik, sehingga kwitansi sebagai tana penerimaan uang tersebut tidak diperlukan lagi.

Kesimpulan yang saya peroleh:
– Untuk akta di bawah tangan bila terjadi perkara, pemeriksaan yang paling pertama dilakukan oleh hakim adalah mengenai benar tidaknya akta yang bersangkutan telah ditandatangani oleh pihak(-pihak) yang bersangkutan. AKTA DI BAWAH TANGAN YANG DIAKUI ISI DAN TANDA TANGANNYA memiliki KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA seperti suatu akta otentik. (KUHPer 1875, Yurisprudensi MA tgl 03-12-1974 Bi, 1043/K/Sip/1971)
– Untuk bisa menjadi alat pembuktian yang sempurna, sesuatu akta di bawah tangan yang sudah diakui oleh ybs bila belum dibubuhi meterai maka hutang bea materai WAJIB DILUNASI. Kewajiban ini gugur bila sudah lewat masa 5 tahun terhitung sejak dokumen dibuat.(UU No. 13 Tahun 1985 pasal 1 dan pasal 12)
– Bea Meterai terhutang dibayar oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen (UU no. 13 tahun 1985 pasal 6), dikenakan denda 200% (pasal 8)
– Pejabat Negara dilarang menerima dan menyimpan dokumen (baik akta maupun di bawah tangan) yang tidak atau kurang dibubuhi materai (UU no. 13 tahun 1985 pasal 11 butir 1a),dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku(pasal 11 butir 2).

Hehe…Alhamdulillah tambah pengetahuan saya di bidang keabsahan dokumen dan kaitan dengan kemeteraian. Sekali lagi thank you sobat yang baik…:-))
Salam kompak, Fitri