INDEKS NEGARA BAIK
Korupsi dan Jebloknya Kontribusi Keilmuan RI

20 Juni 2016

Hasil riset yang dituangkan dalam Indeks Negara Baik 2015 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-160 dari 163 negara dalam hal sumbangsih di sektor keilmuan dan teknologi bagi umat manusia. Indonesia hanya “unggul” dari tiga negara, yakni Angola, Guinea Ekuator, dan Irak. Adakah kontribusi korupsi sektor pendidikan terhadap jebloknya peringkat RI ini?

“Good Country Index 2015” atau Indeks Negara Baik, yang diluncurkan awal Juni lalu, digagas Simon Anholt, guru besar kehormatan dari University of East Anglia di Inggris. Ia juga aktif menjadi penasihat bagi kepala negara dan pemerintahan di puluhan negara dalam hal brandingnegara.

Indeks yang disusun Simon dan tim penelitinya itu bertumpu pada gagasan kosmopolitanisme, yakni tanggung jawab negara atau warga sebuah negara tak berhenti pada garis batas terluar negaranya. Indeks ini lantas didesain untuk mengukur seberapa besar kontribusi sebuah negara terhadap warga dunia dengan menggunakan tujuh indikator utama, yaitu keilmuan dan teknologi, budaya, perdamaian dan keamanan internasional, serta keteraturan dunia.

Indonesia dalam indeks itu ada pada peringkat ke-83 dari 163 negara. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Filipina (74), Thailand (57), Malaysia (46), dan Singapura (24). Namun, jika dibedah lebih jauh dengan melihat peringkat per indikator utama, Indonesia mendapat posisi paling buruk di indikator sumbangsih keilmuan dan teknologi. Indonesia ada di peringkat keempat terbawah dari 163 negara.

Indikator keilmuan dan teknologi ini disusun dari tujuh komponen, yakni mahasiswa internasional, ekspor jurnal internasional, publikasi internasional, peraih Hadiah Nobel, dan paten. Semua komponen dihitung dengan perbandingan terhadap kapasitas ekonomi tiap negara.

Lantas apa yang membuat kontribusi Indonesia begitu rendah bagi dunia dari sektor keilmuan dan teknologi? Tak ada faktor tunggal yang dapat menjelaskan problem ini. Penyebabnya bisa beragam, yakni mulai dari anggaran, kualitas pendidikan, infrastruktur penunjang penelitian, hingga SDM, dan banyak kemungkinan lainnya.

Namun, menjadi menarik untuk melihat keterpurukan ini dari perspektif korupsi, terutama korupsi di sektor pendidikan yang bersinggungan langsung dengan keilmuan dan teknologi.

Infrastruktur pendidikan

Jika 20 negara yang berada di peringkat teratas dari Indeks Negara Baik disandingkan dengan 20 negara yang mendapat posisi teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 yang disusun Transparency International, ada 16 negara yang beririsan di dua indeks itu. Sementara jika 20 negara teratas dalam IPK 2015 disandingkan dengan peringkat Indeks Negara Baik, khusus di sektor keilmuan dan teknologi, ada 14 negara yang beririsan di kedua indeks itu.

Riset kuantitatif terhadap 56 negara, termasuk Indonesia yang dilakukan Hoi Yan Cheung dan Alex WH Chan dalamCorruption Across Countries; Impacts from Education and Cultural Dimensions (2008) menunjukkan korelasi antara pendidikan dan korupsi. Menurut mereka, tingkat pendidikan tinggi yang baik berkorelasi dengan penurunan angka korupsi.

Namun, mereka juga menekankan korupsi juga bisa memberi dampak merusak pada sektor pendidikan tinggi. Hal ini membuat hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi dan kualitas pendidikan. Selain itu, korupsi pendidikan juga menyebabkan anak muda menjadi tak profesional sekaligus mendorong mereka mendistorsi nilai-nilai dan budaya.

Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch Febri Hendri, Sabtu (18/6), berpendapat, buruknya performa Indonesia di sektor keilmuan dan teknologi pada Indeks Negara Baik itu tak terlepas dari sumbangsih korupsi di sektor pendidikan. Korupsi di sektor pendidikan menurunkan kemampuan mendanai infrastruktur pendidikan secara memadai sekaligus menurunkan kualitas pendidikan. Dampak lebih lanjut, tentu pada kualitas produk keilmuan dan teknologi.

content
Data ICW tahun 2006-2015, tercata7t ada 425 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan jumlah tersangka 618 orang. Di perguruan tinggi, KPK, misalnya, menangani korupsi pengadaan instalasi teknologi informasi gedung perpustakaan Universitas Indonesia 2010-2011. Selain itu, KPK juga menangani kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Universitas Airlangga tahap satu dan dua tahun 2010. ICW memperkirakan kerugian negara akibat korupsi sektor pendidikan 10 tahun terakhir Rp 1,3 triliun.

“Jumlah itu masih sangat kecil karena hanya menghitung kasus-kasus yang naik ke penyidikan. Kami perkirakan, setidaknya 30 persen anggaran pendidikan itu bocor, terutama di sektor investasi infrastruktur sekolah,” kata Febri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebelumnya sempat menuturkan korupsi pendidikan terutama di daerah, bukan di pusat. Pemerintah juga berupaya mengatasi korupsi sektor pendidikan di daerah dengan pendekatane-purchasing (Kompas, 18/5/2016).

KPK juga mulai melirik korupsi sektor pendidikan. Pekan lalu, KPK menandatangani nota kesepahaman (MOU) pencegahan korupsi dan perjanjian kerja sama publikasi lokal universitas dengan tujuh universitas di Jabodetabek. Sejak 2013, KPK bekerja sama dengan 21 universitas di Indonesia. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam paparannya menekankan pentingnya integritas di dunia pendidikan agar semakin banyak “jemaah” anti korupsi di tengah masyarakat yang “sakit” dan sedikitnya orang jujur.

Gelar kosong hingga joki

Stephen Heyneman dalam Global Corruption Report: Education (2013) dari Transparency International mengingatkan, korupsi pendidikan tak hanya terkait kejahatan finansial, tetapi juga mengambil bentuk suap perekrutan dan penerimaan mahasiswa, penjualan gelar-gelar “kosong”, kebohongan keunggulan universitas untuk menarik mahasiswa, serta integritas akademik.

Berbagai bentuk korupsi pendidikan yang disebutkan Stephen itu ditemukan di dunia pendidikan Indonesia. Kecurangan masuk ke sekolah favorit ataupun perguruan tinggi ternama bisa berbentuk suap atau bentuk perjokian saat seleksi masuk. Kondisi ini membaik, tetapi belum berarti Indonesia benar-benar bebas praktik itu.

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan adanya universitas-universitas abal-abal yang jual gelar pascasarjana. Ironisnya, ada nama-nama mantan pejabat di daftar penerima gelar itu. Dari sisi integritas akademik, plagiarisme masih pelik.

Guru Besar Emeritus Sejarah Asia Tenggara dan Indonesia Lunds Universitet, Swedia, Mason C Hoadley dalam perbincangan beberapa bulan lalu, mengingatkan korupsi sektor pendidikan menjadi tantangan sekaligus ancaman Indonesia. “Korupsi dalam sistem pendidikan berarti uang lebih menentukan ketimbang talenta dan kerja keras,” tutur Mason lewat surat elektronik (e-mail).

Pemangku kepentingan di negara-negara di peringkat atas Indeks Negara Baik terbilang sangat keras terhadap kecurangan akademik. Di Swedia, misalnya, tak jarang mahasiswa di universitas menerima penugasan esai yang diikuti kalimat dari dosen. “Semua dosen lebih suka formulasi kalimat yang ceroboh ketimbang kalimat curian”. Nah, bisakah kita memulainya?

(ANTONY LEE)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 4 dengan judul “Korupsi dan Jebloknya Kontribusi Keilmuan RI”.