Seorang petugas keamanan tradisional Bali yang biasa disebut pecalang melintas di depan Monumen Bom Bali di Kuta, Bali, pada hari raya Nyepi, Selasa (12/3). Saat perayaan Nyepi, salah satu larangannya umat Hindu tak boleh melakukan aktivitas di luar rumah sehingga jalan-jalan di Bali lengang. Pecalang bertugas agar perayaan Nyepi berjalan sesuai aturan.
DENPASAR, KOMPAS -
Selama 24 jam, mulai pukul 06.00, masyarakat setempat menjalani Catur Brata dengan menghindari empat pantangan: amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang).
Tidak tampak aktivitas di luar rumah, kecuali di rumah sakit. Aktivitas penerbangan dari dan ke Bandara Ngurah Rai dihentikan sementara. Demikian pula aktivitas penyeberangan dari Jawa menuju Bali. Penerbangan dan penyeberangan baru dibuka kembali pada Rabu pagi ini.
Semua itu adalah bagian dari proses evaluasi diri terhadap kehidupan sepanjang tahun lalu, sembari menyiapkan diri menjalani hari-hari berikutnya pada tahun Saka 1935.
Sehari menjelang Nyepi, Senin, berlangsung persembahyangan bersama Tawur Agung Kesanga. Ritual yang dipusatkan di halaman Pura Besakih, Karangasem, ini dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernur Bali Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Hadir pula sejumlah pejabat pemerintah kabupaten/kota di Bali berikut para utusan dari daerah.
Koordinator sulinggih (pemimpin agama) di Pura Besakih, Jero Mangku Suyasa, menerangkan, Pura Besakih menjadi pusat prosesi Tawur Agung Kesanga karena pura ini merupakan kiblat semua pura di Bali. ”Pura Besakih disebut juga pura ibu atau pura pusat dari semua pura di Bali,” ujar Suyasa. Tawur Agung Kesanga bertujuan menyucikan seluruh alam semesta dengan menetralisasi unsur-unsur Bhuta Kala.
Persembahyangan Tawur Agung Kesanga juga digelar di tingkat daerah, termasuk kabupaten/kota, banjar, dan tiap rumah pada sore hari.
Pada malam menjelang Nyepi, atau serangkaian Tawur Agung Kesanga, digelar pengerupukan. Warga mengarak ogoh-ogoh, simbol unsur Bhuta Kala, roh jahat dan itikad buruk.
Di Kota Denpasar, pawai ogoh-ogoh dipusatkan di dekat Lapangan Puputan Badung I Gusti Ngurah Made Agung.
Sepanjang pelaksanaan Nyepi, setiap banjar dijaga sejumlah pecalang serta pengurus banjar masing-masing. Warga dilarang keluar rumah meski berjalan kaki. Selain itu, warga juga dilarang menyalakan lampu pada malam hari.
Kepala Bidang Humas Polda Bali Komisaris Besar Hariadi berterima kasih kepada pecalang (polisi adat) serta masyarakat Pulau Bali yang mampu menjaga toleransi hidup beragama.
Sementara itu, sejumlah rumah sakit pemerintah dan swasta tetap melayani pasien dengan maksimal. Unit gawat darurat tetap menerima masyarakat yang membutuhkan.
Beberapa warga didampingi pecalang membantu pasien untuk bisa menjangkau rumah sakit terdekat agar cepat tertangani.
”Kami tetap melayani persalinan serta warga yang datang hari ini. Hanya saja, kami menutup sejumlah jendela agar tidak mencolok selama pelaksanaan Nyepi,” kata Kepala Bidang Umum Rumah Sakit Umum Puri Bunda Denpasar Kadek Alvioni.
Umat Hindu asal Bali di Lampung juga memperingati Nyepi dengan festival ogoh-ogoh yang dipusatkan di Tugu Adipura, Bandar Lampung.(COK/AYS/JON/NIT)