Jakarta, Kompas -
”Pusat studi mitigasi bencana tsunami kami harapkan bisa segera terwujud seperti yang dijanjikan,” kata Direktur Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala Aceh Dirhamsyah, Minggu (6/1).
Dirhamsyah mengatakan, tahun 2010, Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana ke Jepang dan menjanjikan untuk membangun pusat studi mitigasi bencana di Indonesia. Rencana ini juga diulang saat Armida saat berbicara pada Pertemuan Kerja Sama Selatan-Selatan di Nusa Dua, Bali, pada 2012.
Saat itu, Syiah Kuala Aceh digagas akan menjadi pusat studi mitigasi tsunami, Universitas Gadjah Mada menjadi pusat studi gunung api, dan Institut Teknologi Bandung menjadi basis studi kegempaan.
Menurut Dirhamsyah, pemerintah sebenarnya tinggal melanjutkan program yang telah dirintis TDMRC.
”Lembaga kami telah mendapatkan dana 5,6 juta dollar Amerika Serikat dari Multidonor Fund untuk mengembangkan pusat riset tsunami di Aceh. Kami sudah memiliki kantor dan peneliti. Namun, program itu habis anggarannya pertengahan tahun 2012,” katanya. Dirhamsyah mengatakan, saat ini TDMRC harus berjuang membayar listrik dan gaji pegawai.
Sejak dua tahun terakhir, ITB bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendirikan Program Pascasarjana Gempa bumi dan Tektonik Aktif atau Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics (GREAT).
”Dengan program ini kami berharap bisa melakukan riset tentang gempa bumi dan menghasilkan periset masa depan. Tapi memang, saat ini dukungan lebih banyak dari luar negeri,” kata Irwan Meilano, Koordinator Program GREAT.
Danny Hilman, ahli gempa dari LIPI yang juga pengajar di GREAT, mengatakan, dukungan pemerintah sangat kurang.
Sebelumnya, sejumlah ilmuwan mengeluhkan kurangnya penelitian kebumian, khususnya di bidang gempa bumi, tsunami, dan gunung api. Sebaliknya, Singapura yang tidak memiliki gunung api dan tidak terancam langsung oleh gempa dan tsunami mendirikan pusat studi kebumian atau Earth Observatory of Singapore (EOS) (
Padahal, Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, sejauh ini jurusan kegunungapian juga belum ada di perguruan tinggi di Indonesia.
”Padahal, ilmu gunung api, baik yang fundamental (prediksi jangka panjang) maupun yang terkait prediksi jangka menengah hingga jangka pendek, memerlukan gabungan dari beberapa disiplin ilmu. Ada geologi, kimia, fisika, gunung api, dan geodesi,” katanya.
Surono menambahkan, momen letusan Merapi tahun 2010 sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memperkuat studi kegunungapian.