Meme Pembubaran HTI

Opini JawaPos, 9/5/2018 10.33 wib.
Oleh Daniel M. Rosyid


Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA 

BARU-BARU ini meme yang memuat foto dan komentar saya soal pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah viral di medsos. Sebagai PNS, Selasa malam (8/5) saya telah dipanggil pimpinan ITS untuk menjelaskan posisi saya soal meme tersebut. Meme poster itu memuat komentar pendek saya soal kasus pembubaran HTI seminggu sebelumnya. Dalam meme itu saya disebut sebagai guru besar ITS dengan berbagai tagar yang mudah memersepsi saya sebagai pendukung HTI atau bahkan anggota HTI, lalu ITS adalah sarang HTI. Luar biasa.

Selama setahun terakhir ini saya kerap berinteraksi dengan pegiat HTI dalam beberapa diskusi. Di rumah saya punya beberapa ”buku wajib” HTI. Terakhir bahkan saya undang kawan-kawan saya untuk membedah sebuah disertasi pada 2000-an di London School of Economics dengan judul ”The Inevitable Caliphate”. Seorang kawan dari JPIP ikut membedah disertasi tersebut secara kritis.

Teman-teman HTI berusaha keras meyakinkan saya dan istri saya tentang peran penting khilafah. Saya dan istri saya sudah sejak lama percaya khilafah, tapi dengan pemahaman yang berbeda dari versi HTI. Bagi saya, khilafah baru yang disebut Imam Mahdi hanya bisa hadir di atas reruntuhan Kerajaan Arab Saudi. Sebagian pemahaman saya itu telah saya tulis dalam sebuah artikel di Jawa Pos serta dalam beberapa portal berita.

Bagi saya, saat ini umat manusia berada dalam khilafah Pac Americana dengan Obama lalu Trump sebagai khalifah. Khilafah adalah suatu bentuk tata dunia (world order) dengan berbagai instrumen teknokratiknya seperti PBB beserta lembaga-lembaga di bawahnya semacam Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).

Bagi saya, dunia saat ini berada di bawah khilafah yang zalim, yang sewenang-wenang atas kebanyakan umat manusia. Pancasila tidak mungkin hidup subur dalam ekosistem tata dunia semacam itu. Itulah yang menjelaskan mengapa Pancasila telah dipaksakan secara semu saat Orde Baru dan hampir saja dibuang ketika reformasi. Seperti peringatan Bung Karno, saat ini praktis kita sudah mengalami penjajahan baru. Penjajahan remote controlled melalui sistem ekonomi dan keuangan global ribawi. Oleh Bung Karno, itu disebut nekolim.

Saya menolak Perppu Ormas karena menilainya sebagai titik masuk bagi otoritarianisme yang akan dipakai untuk mengontrol pikiran orang. Setelah sistem persekolahan banyak membuat warga muda dungu, Perppu Ormas tersebut akan memperparah kedunguan itu. Kampus bagi saya adalah a market place of ideas. Mahasiswa perlu berlatih memahami berbagai pikiran mendasar mengenai realitas kehidupan berbangsa dan bernegara agar pantas menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Menentang Perppu Ormas tersebut adalah perang melawan kedunguan.

Sebagai dosen PNS saya sudah lama tidak memosisikan diri sebagai pegawai, tapi sebagai profesional. Sebagai profesor saya juga diberi tunjangan kehormatan. Saya tidak tahu persis alasan mengapa profesor berhak atas tunjangan kehormatan itu. Saya juga pernah menjadi ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya. Saat ini saya duduk sebagai anggota Majelis Kehormatan Etik PII pusat. Setahu saya, para profesional bukan bekerja bagi siapa yang membayarnya. Dia melayani publik untuk kebajikan publik. Tadi malam oleh manajemen puncak ITS saya telah diposisikan sebagai pegawai.

Saya sudah lama berkeyakinan bahwa universitas adalah lembaga yang istimewa karena berhak memberikan gelar sarjana, bahkan doktor. Lembaga lain tidak punya hak semacam itu. Gelar itu disebutkan dalam ijazah. Ijazah ini kosakata Arab yang memiliki akar kata yang sama dengan kata mukjizat. Setiap sarjana yang kami didik di ITS diharapkan dapat membuat banyak mukjizat bagi masyarakatnya. Mukjizat itu perkara istimewa bagi yang tidak berilmu, tetapi perkara biasa bagi sarjana.

Tadi malam, saat sebagai profesional diminta mencabut komentar yang viral itu, saya menolak karena tidak mampu tidak konsisten dengan hati nurani yang telah saya tuliskan dalam beberapa media. Saya segera ingat, suatu ketika (1983), sebagai ketua Musala ITS, saya diminta menarik buletin Musala ITS oleh pimpinan ITS saat itu. Saya menolak permintaan tersebut karena buletin itu sudah telanjur beredar bagi pengunjung pada saat pameran buku dan busana muslim di sekitar Perpustakaan ITS. Dalam buletin tersebut ada foto ”Masjid ITS” yang telantar pembangunannya. Juga foto seorang mahasiswi berjilbab serta wawancara wartawan buletin musala dengan seorang mantan ketua Dewan Mahasiswa ITS.

Saya jadi teringat almarhum ayah saya, Ibrahim Ibnu Djamhuri, seorang pengacara alumnus UGM sekaligus pedagang yang telah wafat 25 tahun silam. Semula beliau adalah jaksa. Lalu diasingkan untuk mengurusi sebuah pabrik minyak kelapa yang bangkrut di dekat Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Diasingkan karena secara terbuka beliau menolak untuk memuja Soekarno di puncak kekuasaannya.

Di ruang tamu rumah kami di Semarang terpampang sebuah lukisan cat minyak Abraham Lincoln. Ayah saya itu –seorang Masyumian– adalah pengagum berat Abraham Lincoln, seorang Yahudi. Keduanya adalah sarjana hukum. Anehnya, ayah saya berpesan, ”Kelak jadilah dokter atau tentara. Jangan kuliah di fakultas hukum bengkok.”

*) Guru Besar Teknologi Kelautan ITS Surabaya

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/?p=4162

Baca juga :

Sikap ITS Tangani 3 Dosen Bisa Bungkam Kebebasan Berpendapat