ROBOHNYA UNIVERSITAS KAMI (14): TAKUT KEPADA PLAGIATOR


Dulu ketika pemerintahan Jokowi-JK mengusung jargon revolusi mental, saya sempat bermimpi bahwa tema ini akan menjadi tambang medali emas bagi insan perguruan tinggi untuk menunjukkan bakti kepada ibu pertiwi. Saya menyadari harus puas menggigit jari karena ternyata medali itu diborong habis oleh Menteri Susi Pudjiastuti, seorang perkasa yang lebih banyak mengurus ikan dan benda mati. Yang justru teramati melalui berita televisi, hampir setiap hari lembaga anti rasuah menangkapi alumni perguruan tinggi.

Editorial Media Indonesia pertengahan bulan April lalu, menyampaikan ajakan sekaligus melempar sindiran. Ia mengusung tema “Mencabut Gelar Akademik Koruptor” yang jelas bukan tema sembarangan. Sepintas ia merupakan ide untuk melakukan gerakan menggalang kekuatan kalangan ilmuwan, namun data yang disajikan sungguh sangat menohok tajam.

Menurut saya, tema editorial itu sungguh sengaja menyindir bahwa perguruan tinggi adalah institusi paling bertanggungjawab terhadap merajalelanya praktik korupsi di negeri ini. Tak bisa dipungkiri sebuah fakta hampir seluruh pelaku korupsi adalah alumni pendidikan tinggi. Yang menarik sekaligus menyedihkan adalah rekor perilaku korupsi justru ditorehkan oleh para doktor yang notabene lulusan dari jenjang pendidikan paling tinggi. Dari total 739 pelaku yang teridentifikasi, tercatat 342 bergelar doktor (10 di antaranya profesor) atau sekitar 45 % dari total populasi. Ya…, gelar doktor telah memecahkan rekor dunia sebagai gelar yang paling banyak disandang oleh para pelaku korupsi.

Induk ayam dinyatakan sehat berdasarkan kualitas telor, seorang promotor dinyatakan hebat berdasarkan prestasi para murid doktor. Di negeri Atas Angin, sejumlah doktor (bukan hanya satu) murid promotor pemegang rekor meluluskan 600 doktor itu terbukti telah menjadi koruptor. Saya mencermati data pada dongeng lainnya dan mendapati bahwa sejumlah doktor murid pak promotor itu bahkan ada yang telah berhasil pula menjadi profesor. Dongeng berikutnya berkisah mereka menjadi penguji pada banyak sidang doktor, dan dalam hal lapor melapor mereka berada pada barisan pelopor. Koruptor dan profesor ternyata bisa dilahirkan dari ibu salah asuh yang sama, sang promotor pemecah rekor.

Buah simalakama tidak akan jatuh jauh dari pohon, kacang panjang tidak akan tumbuh meninggalkan lanjaran. Ketika pohon maha lebat itu ditebang dalam upacara pemecatan, buah yang terlanjur jatuh ke bumi akan membenamkan biji yang suatu saat nanti akan menjadi tunas dan bersemi di musim penghujan. Ia akan tumbuh menjadi simalakama kehidupan dan kemudian banyak mendatangkan persoalan. Biji simalakama inilah yang saat ini ditakuti oleh pimpinan perguruan tinggi dan mungkin juga pejabat kementerian. Kini sang biji telah membentuk akar tunggang yang mampu mengungkit dan membuat retak sebuah tiang bangunan peradaban.

Peradaban dunia pendidikan menyampaikan pelajaran, ketika manusia tidak bisa menemui kebenaran maka ia boleh menemui kepantasan. Saya tidak bisa menemui kebenaran ketika ijazah doktor dari mereka yang karyanya terbukti jiplakan tidak dibatalkan. Paling tidak pernyataan ini valid hingga usia kasus sekarang menginjak 21 bulan. Dalam rentang waktu demikian di awal tahun 60-an, ibu di kampung telah berhasil melahirkan 2 orang. Saya yang lahir kemudian di dalam perbincangan daerah disebut jabang bayi sundulan.

Norma itu acuan kebenaran, sedang etika dan estetika menjadi rujukan kepantasan. Ketika manusia sudah tidak menemui keduanya, yakinlah ia telah salah mengambil jalan. Dalam kasus plagiat yang sedang dipaparkan, selain tidak menemui kebenaran saya juga tidak menemui adanya kepantasan.

Universitas ini harus diselamatkan
Plagiator yang tidak mendapatkan hukuman itu hanya pantas terjadi di sebuah gerombolan, bukan di institusi pendidikan. Supaya memenuhi azas kepantasan, sepertinya rektor yang telah diberhentikan itu lebih pantas menjadi pimpinan daripada mereka pejabat yang diperbantukan oleh kementerian. Saya sebut lebih pantas karena kalau kemudian ditemukan banyak kejanggalan ya memang wajar karena pimpinannya tidak mengenal peraturan. Lebih pantas lagi kalau perguruan tinggi yang bersangkutan memang sengaja dijadikan untuk lucu-lucuan sebagai kelengkapan isi semesta alam.

Saya gagal paham tentang situasi sekarang karena telinga ini sangat kuat merekam pak Menteri berulang-ulang memberi arahan, rektornya diberhentikan dan ijazah (plagiator) dibatalkan. Arahan yang begitu spontan itu sangat saya yakini menyembul dari hati nurani nun jauh di dalam. Melalui pesan wa klarifikasi langsung kepada Menteri pada Sabtu malam, singkat dan tegas beliau menyampaikan bahwa tidak ada perubahan kebijakan di tingkat kementerian.

Pernyataan pimpinan yang paling asli itu adalah yang diungkapkan secara spontan dan disampaikan paling duluan. Pada hari pertama bertugas, seorang pejabat rektor menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan ijazah plagiator dibatalkan. Secara tegas beliau menjawab ijazah dibatalkan karena itu perintah undang-undang. Kini setelah bertugas 9 bulan, pak rektor tampak mulai bimbang. Saya sedang memikirkankan sebuah pigura untuk membingkai pernyataan asli beliau di depan sebagai cindera mata dan kenang-kenangan.

Wajib hukumnya kepada saudara seiman saling berwasiat dalam kebenaran dengan penuh kesabaran. Karena tidak menemui kebenaran dan kepantasan, saya wajib mengingatkan sedulur yang sekarang kebetulan sedang bertugas menjadi pimpinan dan saya yakini telah salah memilih jalan. Demi kemaslahatan dunia pendidikan, saya bersumpah tidak akan berhenti dan bosan mengingatkan teman melalui berbagai tulisan dan berdoa untuknya setiap malam.

Jauh panggang dari api, tampaknya masyarakat menaruh harapan kepada kaum pendidik dan ilmuwan terlalu tinggi. Bagaimana mungkin perguruan tinggi berani mencabut gelar akademik pelaku korupsi sementara mencabut ijazah para plagiator saja tidak punya nyali? Editorial MI yang disiarkan di Metro TV itu mengukuhkan keberadaan sebuah fakta bahwa ternyata masyarakat kurang menyadari betawa gawatnya masalah integritas pendidikan tinggi.

Sebagai warga negara saya harus mencegah agar pimpinan universitas sekarang tidak melakukan pembiaran terhadap perilaku curang. Sebagai petugas saya juga tidak menginginkan para beliau yang bertugas memimpin malah berlama-lama menggantung keputusan karena semakin lama tidak ada keputusan semakin sering saya menjalani pemeriksaan atas sejumlah laporan. Berikut ini sejumlah pandangan tentang pentingnya kita semua memberikan perhatian khusus dengan satu tujuan yaitu universitas ini harus diselamatkan.

Pertama, saya sangat menyayangi universitas yang sejak lahir telah memiliki karakter kuat di bidang pendidikan. Saya sangat mengagumi banyak tokoh pendidikan yang auranya sekelas begawan seperti Prof. Tilaar, Prof. Sudiarto, Prof. Conny Semiawan dan Prof. Arif Rachman. Sebagai universitas pendidikan, ia menjadi teladan dan segala keputusannya akan dijadikan acuan. Malu dilihat matahari dan rembulan ketika nanti sebuah universitas pendidikan pencetak guru tidak mampu memberikan teladan tentang cara menyemai kejujuran dan membasmi kecurangan.

Kedua, saya sangat menghormati perguruan tinggi negeri berukuran besar yang berlokasi di ibu kota kerajaan. Sebagai warga negara saya tidak menginginkan ketidaktepatan cara dan kegamangan menangani perkara ketidakjujuran akademik (academic dishonesty) di universitas ini dipersepsi oleh rakyat sebagai cerminan bobroknya moral pusat kekuasaan. Ketidakberanian menjatuhkan sanksi kepada para pelaku pelanggaran akademik serius di perguruan tinggi besar akan berdampak sangat luas dalam bentuk distorsi orientasi pembangunan budaya akademik utamanya pada perguruan tinggi yang lebih kecil dan pinggiran yang jumlahnya ribuan.

Ketiga, saya sangat menghormati sebuah universitas mewah dalam pengertian mendapatkan dukungan manajemen sebanyak 3 pejabat kementerian. Saya berpandangan tidak ada cukup alasan bagi perguruan tinggi ini untuk merasa tidak mampu membatalkan ijazah plagiator sesuai peraturan perundangan. Dalam hal kemampuan mengurus kasus plagiat dan membatalkan ijazah, siapapun tentu tidak ingin mempersamakan 3 pejabat kementerian ini dengan 1 rektor yang sejak 9 bulan lalu telah diberhentikan.

Keempat, saya menilai disertasi yang dipersoalkan sejauh pengamatan memang substansinya sungguh sangat keterlaluan. Bukan hanya soal jiplak menjiplak, tetapi lebih dalam lagi isinya menyimpang dari rumusan capaian pembelajaran sehingga berpotensi menyesatkan ilmu pengetahuan. Ketika sebuah disertasi doktor program studi manajemen sumberdaya manusia malah membicarakan evaluasi program perbankan, keluarga berencana atau aspal jalan, maka disertasi itu tidak mungkin bisa diperbaiki tetapi harus dilelang kiloan. Tegasnya, judul dan isi disertasi itu harus dibatalkan. Akal sehat akan hilang ketika di satu sisi sebuah ijazah dinyatakan berlaku sementara di sisi yang lain penelitian disertasi harus diulang.

Kelima, rekomendasi komisi akademik tentang sanksi yang bukan sanksi itu konon tidak bulat. Beberapa anggota komisi yang tidak membubuhkan tanda tangan dan paraf atas rekomendasi itu berpotensi menimbulkan gugat-menggugat. Kebenaran akademik menjamin berfungsinya akal sehat dan tidak selalu bisa diperoleh dengan cara mufakat. Saya menyarankan agar anggota komisi yang tidak bersepakat itu justru diberi peluang berbeda pendapat (dissenting), siapa tahu nanti pendapatnya justru menjadi penyelamat.

Persoalan tergawat perguruan tinggi saat ini bukan masalah kuantitas, juga bukan kualitas tetapi integritas. Ketika universitas negeri dan besar serta mendapatkan dukungan penuh kementerian masih saja takut kepada plagiator, saya menilai sungguh itu keputusan tidak benar dan tidak pantas. Lebih memelas kiranya ketika siapapun mengetahui para pejabat kementerian yang diperbantukan kepada universitas tersebut berasal dari perguruan tinggi papan atas. Saya memohon maaf telah membagi nada getir di tengah perayaan hardiknas.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, dan Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.