PRODI KEDOKTERAN

Moratorium Dicabut, Mutu Dipertaruhkan

7 September 2017

JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah mencabut moratorium pembukaan program studi kedokteran menuai kritik dari sejumlah lembaga dan asosiasi profesi terkait. Langkah itu dinilai mempertaruhkan mutu lulusan prodi kedokteran.

Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Bambang Supriyatno, Rabu (6/9), di Jakarta, menyatakan, KKI bersama dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), juga Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menolak kebijakan tersebut.

Mereka menilai pencabutan moratorium program studi kedokteran tak menjamin kelulusan berkualitas. Dalam jangka panjang, ini akan berdampak terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Selasa lalu, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi menyampaikan kebijakan pencabutan moratorium tersebut. Alasan utamanya demi memenuhi kebutuhan tenaga dokter di seluruh pelosok Tanah Air (Kompas, 6/9).

Bambang menyebutkan sejumlah alasan penolakan pencabutan moratorium, antara lain terkait distribusi dokter. Saat ini jumlah dokter yang memiliki surat tanda registrasi (STR) ada sekitar 120.000 orang. Rasio dokter dengan masyarakat telah mencapai 1 : 2.100. Artinya, satu dokter melayani 2.100 pasien. Rasio ini sudah lebih dari angka ideal, yakni 1 : 2.500.

Masalah utama distribusi

Yang menjadi persoalan saat ini adalah bukan jumlah dokter yang kurang, melainkan distribusinya yang tidak merata. Rasio dokter 1 : 2.500 baru terpenuhi di 10-11 provinsi saja. Selebihnya masih kekurangan. “Jadi, masalahnya bukan produksi dokter, tetapi distribusi,” ujar Bambang.

Menurut Bambang, Undang-Undang Kesehatan memungkinkan pemerintah meredistribusi dokter sepanjang menjamin kebutuhannya. Apabila Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) saja bisa dilakukan, untuk dokter umum juga seharusnya bisa.

Alasan kedua, kata Bambang, adalah terkait komposisi akreditasi fakultas kedokteran yang ada saat ini. KKI mendapat data dari Kemristek Dikti bahwa per Mei 2017 masih ada 40 persen fakultas kedokteran yang terakreditasi C. Artinya, fakultas kedokteran berakreditasi C itu masih jadi beban pemerintah untuk meningkatkan mutunya. Jika sekarang dibuka kembali program studi kedokteran yang baru, beban pemerintah makin besar. Kualitas lulusannya belum terjamin bagus.

“Moratorium boleh saja dicabut apabila, misalnya, fakultas kedokteran yang terakreditasi C tinggal 10 persen,” kata Bambang.

Kritik juga datang dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI). Koordinator Majelis Pertimbangan Agung ISMKI Yoga Mirza Pratama menilai, pencabutan moratorium bukan solusi untuk memenuhi kebutuhan dokter di daerah terpencil. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah meratakan distribusi dokter di seluruh Indonesia untuk mengatasi masalah kurangnya dokter di daerah terpencil.

Sekretaris Jenderal ISMKI Irwanda menambahkan, mahasiswa kedokteran tetap mendesak keseriusan peningkatan mutu FK yang ditempuh dengan moratorium dan fokus pada pembenahan FK yang ada saja saat ini.

(DD08/ADH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2017, di halaman 11 dengan judul “Moratorium Dicabut, Mutu Dipertaruhkan”.

Baca juga :

Kedokteran Dibuka Lagi

Moratorium Prodi Dicabut untuk Ketersediaan Dokter di Pelosok

6 September 2017

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mencabut moratorium pembukaan program studi kedokteran. Kebijakan diambil terkait upaya memperluas layanan kesehatan kepada masyarakat. Tujuan lainnya adalah memenuhi kebutuhan dokter di pelosok Nusantara.

Direktur Jenderal Kelembagaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) Patdono Suwignjo pada jumpa pers di Jakarta, Selasa (5/9), mengungkapkan, pertimbangan mengenai kebutuhan dokter di berbagai wilayah Indonesia merupakan alasan utama dicabutnya moratorium tersebut. Pertimbangan lainnya adalah terkait target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 dalam mencapai masyarakat yang sehat dan memiliki akses ke pelayanan kesehatan.

Ia menjelaskan, moratorium itu dikeluarkan oleh Kemristek dan Dikti pada 14 Juni 2016. Kala itu organisasi profesi kedokteran meminta pemerintah terlebih dulu membenahi program studi (prodi) kedokteran yang sudah ada. Organisasi profesi tersebut menilai banyak prodi kedokteran tidak sesuai standar.

Pada 2016, tercatat ada 16 prodi kedokteran berakreditasi A, 34 prodi berakreditasi B, dan 23 prodi berakreditasi C. Prodi-prodi berakreditasi C kemudian dibimbing oleh tim yang terdiri dari Kemristek dan Dikti, Konsil Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, dan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia.

“Pada tahun 2017 sudah ada delapan prodi yang mulanya berakreditasi C berhasil meningkat akreditasinya menjadi B,” papar Patdono.

Tim memperkirakan ada sembilan prodi bisa segera meningkat menjadi B berdasarkan kemajuan yang dialami. Prodi kedokteran itu, antara lain di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon (Jawa Barat), Universitas Malahayati Bandar Lampung (Lampung), dan Universitas Tadulako Palu (Sulawesi Tengah).

Direktur Jenderal SDM dan Iptek Kemristek dan Dikti Ali Gufron Mukti mengungkapkan, pembukaan prodi kedokteran diprioritaskan di provinsi yang sama sekali belum memiliki fakultas ataupun prodi kedokteran, seperti Banten dan Gorontalo.

“Walaupun begitu, provinsi wajib memenuhi syarat minimal, yaitu memiliki 26 dosen yang merupakan dokter aktif berpraktik dan rumah sakit pendidikan,” ujarnya. Perguruan tinggi yang tidak punya rumah sakit sendiri, bisa bekerja sama dengan rumah sakit di daerah masing-masing.

Berdasarkan penghitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2030 Indonesia mengalami kekurangan 25.740 dokter. Dari prodi yang ada, Indonesia meluluskan 7.000 sarjana kedokteran setiap tahun.

Menurut Gufron, dengan pembukaan prodi baru, sebanyak 8.700 sarjana kedokteran bisa diluluskan setiap tahun. “Tentu juga dipastikan mutunya. Selain itu, juga akan diefisiensikan waktu menunggu Uji Kompetensi Mahasiswa Program profesi Dokter (UKMPPD),” kata Gufron. Selama ini, rata-rata sarjana kedokteran harus menunggu 4-6 bulan untuk ikut UKMPPD.

UNJ

Dalam jumpa pers itu juga diumumkan temuan dugaan pelanggaran oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam bentuk kelas kerja sama dengan 11 perguruan tinggi lainnya. Hasil temuan masih dirapatkan oleh Kemristek dan Dikti untuk menentukan rekomendasi yang akan diberikan.

Secara terpisah, Rektor UNJ Djaali mengungkapkan, temuan itu tak relevan. Sebab, program kelas kerja sama yang dimaksud sudah berakhir sejak 2015. Para mahasiswa kelas kerja sama yang masih kuliah ketika program berakhir sudah ditarik menjadi mahasiswa UNJ sepenuhnya.

(DNE)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 11 dengan judul “Kedokteran Dibuka Lagi”.