Tinjau Lagi Syarat Akreditasi

Jual Beli Ijazah di Perguruan Tinggi Terus Terjadi

2 September 2017

JAKARTA, KOMPAS — Kasus jual beli ijazah dan ijazah tembak di perguruan tinggi yang terus terjadi menandakan ada celah dalam sistem pendidikan tinggi. Karena itu, syarat operasional ataupun akreditasi perguruan tinggi perlu ditinjau lagi, terutama terkait dengan penilaian jumlah kelulusan.

Sistem penilaian perguruan tinggi (PT) memberikan celah terjadi produksi ijazah tembak. Salah satu faktor penilaian PT untuk akreditasi adalah jumlah mahasiswa. Semakin banyak mahasiswa yang diluluskan oleh PT, nilainya semakin tinggi. Bahkan, di PT negeri masih ada penganggaran yang dilakukan berdasarkan jumlah mahasiswa.

“Penilaian PT hendaknya dilihat dari prestasi PT, mutu perkuliahan, jumlah penelitian, dan bakti kepada masyarakat,” kata Guru Besar Institut Teknologi Bandung, sekaligus pengamat pendidikan, Satryo Soemantri Brodjonegoro ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (31/8).

Menurut dia, ijazah tembak ataupun jual beli ijazah terjadi pertama karena masyarakat belum menghargai pendidikan dari segi mutu, melainkan sekadar gelar akademis untuk gengsi. Ijazah tembak adalah ijazah yang resmi dikeluarkan sebuah PT. Namun, penerima ijazah itu belum memenuhi syarat kelulusan, misalnya belum menyelesaikan sistem kredit semester yang diwajibkan oleh program studi, tetapi sudah diizinkan mengikuti wisuda.

Modus

Secara terpisah, Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademis Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Supriadi Rustad mengatakan, sejak 2015 timnya sudah mendatangi 50 PT terkait dengan kasus ijazah tembak dan jual beli ijazah. Modus yang paling umum ditemukan adalah mahasiswa yang diwisuda setelah diverifikasi di pangkalan data pendidikan tinggi ternyata belum menyelesaikan syarat perkuliahan. Bahkan, ada yang sama sekali tidak terdaftar di PT tersebut, tetapi mengikuti wisuda dan menerima ijazah.

Salah satu contoh, kata Supriadi, adalah kasus di Universitas Negeri Manado, Sulawesi Utara, pada 2016. Timnya menemukan sejumlah mahasiswa yang diwisuda tidak terdaftar di pangkalan data. “Alasan PT ialah karena mereka mahasiswa kelas jauh. Padahal, PT tersebut tidak memiliki izin menyelenggarakan kelas jauh. Mereka juga tidak bisa menampilkan bukti adanya kelas jauh, seperti situs resmi perkuliahan, modul, ataupun jadwal diskusi dalam jaringan,” ujarnya.

Kemenristek dan Dikti menjatuhkan sanksi dengan cara menghentikan rektor, menunda pemilihan rektor baru hingga masalah tuntas, dan mengumumkan nama-nama penerima ijazah tembak serta menegaskan bahwa ijazah itu tidak berlaku.

Supriadi mengatakan, timnya juga menyelidiki Universitas Negeri Jakarta sejak September 2016. Timnya menyelidiki adanya indikasi tidak ada penjaminan mutu di kelas S-3, seperti ketidakjelasan dosen pembimbing, sistem tugas dan penilaiannya, serta jadwal kuliah. (DNE)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2017, di halaman 12 dengan judul “Tinjau Lagi Syarat Akreditasi”.

Baca juga :

ROBOHNYA UNIVERSITAS KAMI (7): PROMOTOR NYAMBI PROVIDER