KEMENANGAN PILREK UHO: SEBUAH MUTIARA SULAWESI TENGGARA

Screenshot_2017-01-14-11-15-55-1-1
17 June 2017 by Supriadi Rustad

Sempat jengkel dan kecewa kepada kementerian yang tidak kunjung menetapkan jadwal, namun akhirnya waktu telah memilih dirinya. Ramadhan itu bulannya, 10 hari terakhir itu momentumnya dan selepas shalat Jumat itu kejadiannya.

Alhamdulillah, pemilihan rektor UHO periode 2017-2021 telah berlangsung dengan aman, tertib dan sejuk. Tuhan telah mengirim malaikat. Hujan seharian membasahi halaman kampus, mengguyuri dan menyirami jiwa-jiwa kering entah di mana. Banyak orang tidak menyadari hal yang sedang terjadi. Jejeran polisi dan tentara yang berjaga terpojok dan terdesak merapat ke dinding dengan siku yang semakin lancip, sepertinya tidak menyadari hari ini kerja apa.

Hasil yang baik diperoleh melalui proses yang baik. Memang benar Dr. Muhammad Zamrun dinyatakan memenangi kompetisi karena meraup 71 suara, sementara Prof. Buyung Sarita, Ph.D memperoleh 61 suara dan Prof. La Sara Ph.D meraih 16 suara, namun letak titik kemenangan tidak berada di situ. Jabatan rektor bukanlah kulminasi kemenangan.

Kemenangan sesungguhnya diawali pada hari Kamis, 8 Juni lalu ketika Tuhan mempertemukan saya dengan ketiga calon di ruang rektor yang demikian luas itu. Saya mengajak mereka berdiskusi tentang masa depan UHO dengan membuang jauh-jauh dan membebaskan diri dari nafsu berkuasa, toh yang akan jadi rektor kan cuma 1 orang. Jabatan rektor telah menjelma bagai batu keras yang membuat hati menjadi beku. UHO tidak boleh membatu dan membeku. Ia harus mencair, mengaliri ladang gersang dan tambang merana Sulawesi Tenggara.

Dengan seksama saya menyimak para tokoh itu menyampaikan pandangannya. Satu per satu mulai luluh mencair hatinya, kemudian mulai terbata-bata ucapannya. Ya Allah, sungguh agung cahayaMu menyinari hati mereka. Satu per satu berdiri, dan kemudian saling mendekat. Akhirnya mereka menyatu dalam haru satu pelukan mesra sesama hamba. Saya melihat kaca-kaca enam mata di sana yang kemudian terasa membasah di sini.

Tertegun saya menjadi saksi mereka bertiga adalah orang-orang besar untuk kampus dan daerahnya. Itulah karakter asli masyarakat Kendari jika sedang dingin hatinya. Sikap “legowo” (Jawa) saya temukan di daerah ini meski tidak pernah ketemu kosa kata setempat yang tepat. Ya, mereka bertiga telah mempertontonkan budaya baru bagi masyarakatnya.

Berbeda dari sebelumnya, suasana rapat senat hari itu sungguh sangat indah. Saya menatap wajah-wajah pasrah bertebaran senyum ramah di seantero ruangan. Saya iri, begitu mudah ketua senat Dr. Aminudin memimpin sidang. Rupanya waktu jualah yang telah mengurai seluruh persoalan pilrek UHO. Tumben banget, seluruh permintaan dan tawaran pimpinan sidang selalu direspon peserta dengan koor bareng , “setujuuuu” yang disertai derai tawa, sesekali juga suara cekikikan . Tawa-tawa kecil sering terdengar renyah. Sepertinya itu adalah suasana lama yang dirindukan.

Ketika itu aura kewibawaan pak ketua melesat bak meteor hingga sayapun dibuat tak berkutik disuruhnya ke sana ke mari. Mengundang canda peserta, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Awas nanti selepas rapat, mana mungkin berani.

Sejatinya ruang rapat di lantai 4 itu memang sangat nyaman akustiknya. Desah pun bisa terdengar jelas oleh semua peserta sehingga sama sekali tidak diperlukan teriakan apapun. Namun ruangan itu tampaknya telah mencatat sejarah masa lalunya dengan rapi, mikul dhuwur mendhem jero.

Sehari sebelum pemilihan, saya menyiapkan program icebreaking. Saya instruksikan kepada semua calon untuk menyampaikan pantun perdamaian sebelum coblosan dimulai. Saya juga menyiapkan pantun dan lagu yang rencananya dinyanyikan bersama-sama. Namun akhirnya saya membatalkan acara menyanyi bersama karena dengan sejumlah pantun suasana sidang sudah sangat kondusif. Mungkin bait pantun berikut ini telah menyentuh sangat dalam.

Pagi hari membawakan pantun, pantun indah tata bahasanya
Orang Kendari orang paling santun, manakala dingin hatinya

Syair lagu memang saya edarkan sehari sebelumnya kepada panitia dan peserta sidang tanpa not sehingga semua belum mengetahui cara menyanyikannya. Anehnya, ketika saya mencontohkan cara menyanyi, peserta malah bisa menyahut dan mengikutinya. Berikut ini syair lagu tanpa judul tersebut.
Kalah menang itu perkara biasa
Menang terus, tidak biasa
Kalah menang itu perkara biasa
Kalah terus, sudah biasa
Lalalalala lalalalala lalalalalala….2X
Kalah menang itu perkara biasa
Kalau menang, jangan bikin susah
Kalah menang itu perkara biasa
Kalau kalah , tidak masalah

Saya meyakini pengurai persoalan pilrek UHO yang hiruk pikuk selama lebih dari setahun itu adalah waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh serta saling menasehati berbagi kebenaran dan kesabaran. Enam bulan lamanya kami saling berbagi kebenaran dan kesabaran. Beberapa kearifan Jawa dan nilai agama ternyata sangat cocok juga untuk masyarakat Sulawesi Tenggara. Menang tanpo ngasorake, merupakan prinsip yang paling sering saya aplikasikan untuk meningkatkan daya terima mereka yang kebetulan tidak teruntungkan oleh sistem pemilihan.

Menurut sahabatku yang sedang mengaji di Selandia Baru, kemenangan pilrek UHO memiliki rujukan teoretis. Awal ramadhan datang sebagai berkah yang ditandai turun hujan deras berhari-hari mengguyuri kota Kendari. Sejumlah perumahan dosen basah tergenangi. Dari Semarang saya memantau rumah pak Santiaji, sekretaris rektor yang rajin itu. Alhamdulillah, konon air hanya sempat melongok di depan pagar pekarangan, seakan menyapa dan mengabarkan bahwa rizki akan segera tiba.

Pertengahan ramadhan benar-benar terasakan hadirnya magfirah, sebuah ampunan kepada keluarga besar UHO. Melalui Dr. Laode Ngkoimani (Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan) saya berpesan agar acara SNMPTN dan SBMPTN di kampus dijadikan wahana untuk merajut kerukunan. Awal datangnya ampunan ditandai oleh postingan foto ketiga calon rektor duduk bersama di acara SBMPTN. Konon foto tersebut sangat disukai oleh khalayak ramai. Sejak saat itu saya yakin bila ketiganya sudah tersenyum dan tertawa bersama seperti itu, maka persoalan UHO sudah selesai. Pertemuan ketiga tokoh di ruang rektor tanggal 8 Juni itu memuncaki magfirah sekaligus mengawali kemenangan di 10 hari terakhir ramadhan.

Yang memenangi pemilihan rektor kemarin sejatinya bukan rektor terpilih, tetapi seluruh masyarakat UHO, Kendari dan Sulawesi Tenggara. Tumben, petugas keamanan sudah mengambil posisi begitu rapi sejak pagi, demikian pula tentara dan polisi. Kemenangan ditandai oleh lepasnya nafsu manusiawi animalistik sebagai perwujudan dari itqun minan naar. Sesekali saya mencuri pandang baris di mana ketiga calon berada, terlihat mereka saling pandang dan tersenyum. Mata ini kok ya ikut-ikutan rabun, sudah tidak mampu lagi menembus garis kelompok pendukung yang dulu terlihat demikian tegas.

Di awal rapat saya sempat berpesan kepada seluruh peserta agar menjaga ekspresi yang berlebihan apapun hasilnya. Telah direncanakan sejak awal bahwa acara pilrek ditutup dengan buka bersama. Namun sebagai manusia saya khilaf, merasa telah melanggar pesan itu dan sekaligus melanggar pantangan pribadi di bulan puasa.

Sejak kecil ibu mendidik saya cara berpuasa yang benar dan yang kemudian telah menjadi tradisi hidup bertahun-tahun. Awalnya bermula dari keluhan saya ketika tidur di rumah tetangga dan makan sahur hanya dengan nasi jagung dan 3 lembar daun bayam penghias sayur bening. Juga ibu mengamati kelakuan kami, saya beradik kakak rajin mengumpulkan jambu untuk disimpan bekal sahur nanti. Dengan tutur kata yang tajam beliau menasehati bahwa berpuasa itu pada hakekatnya mensyukuri apa yang ada, berlatih tidak mencari-cari makanan sangat diutamakan. Perih rasanya dulu menerima nasehat itu, tetapi kini saya bersyukur telah diasuh oleh seorang perempuan perkasa berhati malaikat.

Saya mengakui sebagai pemburu kuliner sejati. Jujur saja itulah sesungguhnya “profesi” yang saya tekuni selama ini. Di mana-mana tempat singgah, saya selalu terlibat dalam provokasi berburu makanan khas setempat. Namun itu semua tidak saya lakukan pada bulan ramadhan karena itu pantangan pribadi yang sudah mentradisi. Di bulan puasa untuk sementara saya cuti dari segala macam perburuan dan menghentikan kegiatan pemanjaan lidah. Di rumah juga tidak ada pesanan menu seperti di hari biasa.

Sore selepas pilrek itu mestinya saya bergabung dengan handai taulan buka bersama di kampus. Namun saya tergoda merayakan kemenangan, lagian pak Dr. Agus Indarjo sebagai kuasa Menteri juga bergegas ke Bandara. Saya mengarahkan Sesdirjen Kelembagaan itu buka puasa di Warung Pangkep dekat bypass. Dengan sadar saya “membatalkan puasa berbuka apa adanya” , menikmati Soup Saudara kesukaan.

Saya menyadari tidak semua pembaca memahami latar belakang sehingga muncul tulisan yang terkesan penuh drama ini. Tahun lalu pilrek UHO dibatalkan oleh Menteri beberapa kali. Sebelumnya, selaku ketua senat, Dr. Aminudin mengaku menderita trauma menyelenggarakan pilrek lagi.

Sebagaimana saya singgung pada tulisan sebelumnya, ihwal penunjukan saya sebagai pelaksana tugas menimbulkan sejumlah kontroversi. Belum menginjakkan kaki di Kendari, saya sudah diberondong sejumlah demonstrasi penolakan dari dosen dan mahasiswa. Tak kurang pejabat Ombusman RI, La Ode Ida tak henti-hentinya mengkritisi. Konon saya (SR) dianggap tidak layak memimpin UHO karena hanya berasal dari Wakil Rektor sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Beliau menilai Kemenristekdikti lalai dan melakukan maladministrasi pengisian jabatan pelaksana tugas.

Ketegangan demi ketegangan terus menghantuai dan alhamdulillah saya bisa melewati. Selama 6 bulan bertugas telah terjadi 3 kali demonstrasi oleh mahasiswa yang saya temui, namun berita akan terjadi demonstrasi saya terima hampir setiap hari. Saya menjadi sangat terbiasa dan imun dengan suasana seperti itu sekarang. Bahkan pada hari Rabu tanggal 7 Juni saya mengundang seluruh aktivis paling vokal di kampus untuk membahas kebijakan baru tentang isu paling sensi yaitu struktur Uang Kuliah Tunggal. Saya mendengar sejumlah peserta menyampaikan apresiasi karena untuk pertama kali dilibatkan dalam penyusunan kebijakan.

Belakangan ini dunia kampus dipandang sangat seksi untuk hajat perpolitikan di daerah. Gubernur Sultra Nur Alam secara terbuka mengungkapkan sejumlah kekecewaannya kepada pelaksana tugas. Saya dinilai tidak sopan memasuki wilayahnya tidak ijin atau datang berkonsultasi.

Aneh, dulu ketika saya memasukkan kata kunci “ Supriadi Rustad UHO”, maka mbah Google selalu menunjukkan sejumlah judul berita menyeramkan antara lain “ SR dinilai Tidak Layak menjadi PLT, “Demo di DPRD Sultra, sejumlah Dosen dan Mahasiswa Tolak Pj Rektor”, “ Gubernur Nur Alam Kecewa dengan PLT UHO” dan seterusnya. Namun malam setelah pilrek, judul-judul seperti itu tidak saya temukan lagi. Mungkin saya yang tidak teliti atau barangkali di bulan ramadhan ini para syetan telah diika erat dengan tali mati.

Veni, vidi, vici, saya datang, saya lihat dan saya menang. Tentu bukanlah kemenangan yang jumawa, namun setidaknya saya telah membuktikan sejumlah hal. Pertama, di tengah maraknya berita di media sosial ternyata hanya sedikit yang mengandung kebenaran oleh karena itu kita harus cerdas menyikapi suatu berita. Kedua, kekerasan dan keberingasan selalu bisa dikalahkan dengan kelembutan hati yang bertumpu pada kesabaran prima. Ketiga, sangat keliru menganggap perguruan tinggi swasta mutunya lebih rendah dari pada yang negeri. Rangking Webometrics dan akreditasi sejumlah perguruan tinggi swasta ternyata bisa lebih baik dari hal yang sama pada perguruan tinggi negeri, termasuk UHO.

Supriadi Rustad, Pelaksana Tugas Rektor UHO, Kendari 2016-2017, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Dian Nuswantoro, Semarang