Menristekdikti: Insinyur Jadi Politikus Berarti Kesasar

Saturday, 18 March 2017 | 22:51 WIB
Republika/Raisan Al Farisi

Menristekdikti, Mohamad Nasir.
Menristekdikti, Mohamad Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir mengakui masih banyaknya lulusan yang menekuni pekerjaan mismatch atau tak cocok dengan bidang keilmuannya, seperti insinyur menjadi politikus. “Kaitannya dengan perguruan tinggi, kami lihat pekerjaan lulusannya sudah sesuai bidangnya apa belum? Bukan hanya lulusannya yang sudah bekerja. Insinyur jadi politisi berarti ‘kesasar’,” katanya di Semarang, Sabtu (18/3).

Hal tersebut diungkapkannya di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) yang berlangsung di Hotel Semesta, Semarang. Nasir mencontohkan lulusan perguruan tinggi di bidang keinsinyuran, seperti Fakultas Teknik (FT) tentunya pas jika lulusannya terjun di bidang teknik, demikian pula bidang-bidang lainnya.

“Insiyur kok kerjanya jadi wartawan, politisi, kan tidak pas,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Diponegoro Semarang (Undip) itu, disambut tawa hadirin.

Untuk jurusan yang menghasilkan bidang-bidang keprofesian tertentu, kata dia, seperti insinyur dan dokter semestinya didorong agar lulusannya menekuni keprofesiannya secara baik. Demikian pula dengan yang terjadi di kalangan sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan bidang keahlian tertentu, seperti pertanian, kata dia, semestinya didukung pengajar yang sesuai bidangnya.

“Di SMK pertanian, misalnya. Mestinya, memiliki tiga kelompok guru, yakni normatif, adaptif, dan produktif. Normatif itu yang mengajar pelajaran utama, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,” katanya.

Kelompok guru adaptif, katanya, adalah yang bertugas mengajarkan sesuai dengan bidang keilmuan dasar yang dibutuhkan di kejuruannya, seperti Matematika, Kimia, dan Biologi. “Yang produktif, seperti pengajaran sistem bertanam. Namun, yang ngajarkan guru Biologi, yang ngajar pascapanen ternyata juga Guru Biologi, karena tidak ada guru yang lulusan pertanian,” katanya.

Kalau untuk jenjang SMK secara umum, termasuk yang dulunya SMEA (sekolah menengah ekonomi atas) sudah cukup baik, tetapi untuk SMK bidang tertentu, seperti pertanian masih menjadi problem. “Makanya, kami perlu dorong lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang mencetak guru-guru,” kata Nasir.

Red: Nur Aini
Source: antara