Mayoritas LPTK Belum Terakreditasi

logo BAN-PT

15 Des 2016

JAKARTA, KOMPAS — Upaya peningkatan mutu guru mengalami berbagai kendala, di antaranya kualitas pendidikan para calon guru yang tidak memadai. Karena itu, dibutuhkan pendekatan dari berbagai arah, seperti perbaikan akreditasi lembaga kependidikan guru.

Menurut data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti), sebanyak 21 persen lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) serta fakultas ilmu pendidikan (FIP) memiliki akreditasi C. Sebanyak 19 persen berakreditasi B, sedangkan yang berakreditasi A hanya 2 persen. Sisanya, atau 58 persen, LPTK dan FIP belum terakreditasi.

“Dari 3.300 prodi (program studi) kependidikan yang sudah terakreditasi, sebanyak 1.600 masih berakreditasi C,” kata Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristek dan Dikti Intan Ahmad, di Jakarta, Rabu (14/12). Padahal, jumlah mahasiswa prodi pendidikan adalah yang terbesar.

Hal itu disampaikannya dalam seminar nasional “Pengembangan Karier Guru sebagai Upaya Pemerataan Distribusi dan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang diadakan Fraksi Partai Golkar DPR.

Di Indonesia, terdapat 12 LPTK negeri, 380 LPTK swasta, dan 30 FIP. Mayoritas di antaranya berupa sekolah tinggi, disusul akademi, universitas, politeknik, dan institut. Salah satu permasalahan yang kerap ditemui adalah masih ada LPTK dan FIP yang tidak memiliki sekolah laboratorium.

Jumlah keseluruhan mahasiswa di Indonesia adalah 7 juta orang, dan 1,2 juta di antaranya berkuliah di prodi Pendidikan. Mereka jauh lebih banyak daripada mahasiswa prodi Ekonomi, Teknik, Sosial, dan Kesehatan. “Akibatnya, Indonesia memiliki banyak sarjana pendidikan, tetapi dengan mutu yang tidak sesuai standar,” ujar Intan.

Rektor Universitas Negeri Jakarta Djaali, yang juga Ketua Asosiasi LPTK se-Indonesia, mengatakan, untuk meningkatkan kualitas guru, perlu dilakukan revitalisasi LPTK dan FIP di seluruh Indonesia

Menurut Djaali, hingga kini, perekrutan mahasiswa menggunakan cara ujian umum, seperti program studi lain. Padahal, semestinya penerimaan mahasiswa baru prodi pendidikan menggunakan wawancara, serta tes minat dan bakat agar terpilih mereka yang benar-benar berniat untuk menjadi guru.

Di samping itu, reformasi yang perlu dilakukan ialah mewajibkan sarjana pendidikan yang ingin menjadi guru mengikuti pendidikan profesi guru selama satu tahun. Apabila lulus, dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, mereka berada di level 7, setara profesionalismenya dengan dokter. Adapun sarjana berada pada level 6.

Selain berpengetahuan sesuai mata pelajaran yang diampu, kompetensi yang mereka miliki ialah terampil, kreatif, berintegritas, dan bisa menjadi teladan bagi siswa. Guru-guru yang aktif bertugas diimbau untuk terus mengikuti pelatihan dan penambahan kompetensi.

Para guru yang belum memiliki ijazah S-1 juga diajak menuntaskan pendidikan. Terkait hal itu, guru-guru mengeluhkan banyaknya tugas administrasi yang memberatkan sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk meningkatkan kompetensi.

Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Sumarna Surapranata memaparkan tengah mencari rumus pengurangan tugas administrasi agar guru bisa fokus merencanakan pendidikan, mengajar, mengevaluasi, dan membimbing.

Di sela seminar, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Golkar Ferdiansyah mengatakan, pihaknya berkomitmen mempertajam jenjang karier dan profesi guru dengan mendorong lahirnya peraturan pemerintah. Anggota Komisi X (juga dari Fraksi Partai Golkar), Marlinda Irawati Poernomo, bahkan ingin menggagas panitia kerja tentang guru.

Kuasai teknologi

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia M Ramli Rahim mengatakan, tersedia pilihan guru untuk belajar hal-hal baru melalui sesama guru yang pernah mengikuti seminar ataupun pelatihan. Selain itu, juga terbuka forum diskusi yang bisa diakses oleh semua guru.

Guru diajak mengikuti kemajuan teknologi dengan rajin menulis blog atau membuat video. Isinya ialah bahan pelajaran yang dikemas secara menarik agar siswa lebih memiliki semangat belajar. (DNE/NAR)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Desember 2016, di halaman 12 dengan judul “Mayoritas LPTK Belum Terakreditasi”.