Prosedur Pengajuan Guru Besar Hanya Dua Bulan Saja!

Foto: Ilustrasi Okezone

Foto: Ilustrasi Okezone

25 Agustus 2016
JAKARTA – Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kemenristek Dikti Ali Gufron Mukti kembali menegaskan tidak benar jika proses pengurusan jenjang kepangkatan dosen untuk menjadi guru besar butuh waktu lama atau bertahun-tahun. “Cukup dua bulan saja sudah dapat dilihat apakah permohonannya diterima atau tidak,” katanya kepada pers di Jakarta, Kamis (25/8/2016).

Hal itu disampaikan Ali Gufron menjawab keluhan dari para anggota Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) yang mengeluhkan kurangnya guru besar di kalangan Fakultas Hukum, khususnya perguruan tinggi swasta karena lamanya proses pengurusan menjadi guru besar.

Menurut Gufron, anggapan itu tidak benar karena sejak dia berada di jajaran Kemenristek bersama Menteri Kemenristek Muhammad Nasir bersepakat untuk mempermudah proses pengurusan kepangkatan khususnya para calon guru besar yang di Indonesia yang jumlahnya relatif masih minim.

“Dulunya mungkin bisa 5-6 tahun baru dapat dilihat apakah usulan dari rektor dapat disetujui atau ditolak. Saat ini cukup dua bulan, sudah dapat dilihat,” kata mantan Wamenkes seraya mengatakan biasanya yang lama itu karena syarat pengajuannya kurang.

Salah satu syarat yang biasanya sulit dipenuhi calon guru besar atau profesor adalah pernah menulis karya ilmiah di jurnal internasional yang terindex Scopus.

Biasanya para calon guru besar mengalami kesulitan memasukkan karya ilmiahnya pada jurnal tersebut. Karenanya, Direktorat Jenderal Pendidikan Perguruan Tingi saat ini sudah mengumpulkan ratusan jurnal internasional yang punya reputasi tinggi atau yang terakreditasi.

“Para calon guru besar saat ini tidak harus terpaku mengirim karya ilmiahnya ke jurnal yang terindex Scopus, tetapi banyak jurnal lain yang juga punya reputasi internasional yang diakui oleh Kemenristek dan Dikti,” katanya. Daftar jurnal itu bisa dilihat di laman resmi Ditjen Dikti.

Seorang calon profesor minimal atau setidaknya pernah menulis di jurnal internasional tiga kali, atau minimal satu kali terkait kajian seperti ilmu hayati (life scieces), ilmu sosial (social sciences) yang di dalamnya termasuk ilmu humaniora atau hukum, dan ilmu kesehatan (health sciences). “Masak ada seorang calon profesor tidak pernah menulis di ranah internasional,” katanya.

Jurnal Abal-abal

Ali Gufron mengingatkan, pihaknya mengumpulkan jurnal internasional yang terakreditasi atau diakui oleh Dikti tersebut agar memudahkan para calon guru besar memasukkan karya ilmiahnya tidak sembarang jurnal. “Saat ini ada ribuan jurnal internasional, ada yang baik dan ada yang bersifat aba-abal atau bahkan predator jurnal. Predator jurnal adalah jurnal internasional tetapi karya ilmiah yang dimuat bukan karena tulisan itu mempunyai dampak (impac) kepada masyarakat. Tetapi tergantung pembayaranya, sehingga mengabaikan norma akademik atau intektual seseorang. Itu yang kami hindari,” katanya.

Ia juga mendorong pendirian jurnal ilmiah bertaraf internasional yang diprakarsai oleh universitas atau lembaga studi hukum Indonesia. “Kami terus mendorong adanya prakarsa penerbitan jurnal internasional, bukan jurnal abal-abal, agar univeritas di Indonesia tidak terpinggirkan di kancah perguruan tinggi internasional lainnya,” katanya.

Menanggapi ini, Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia Laksanto Utomo mengatakan, pihaknya menyampaikan terima kasih atas dorongan perlunya mendirikan jurnal ilmiah internasional. APPTHI kini sedang merintis pendirian jurnal internasional khususnya bidang humaniora, dan akan menggandeng universitas di luar negeri yang sudah mempunyai jural internasional, seperti dari Universitas Malaysia dan Filipina.

“Kami sedang menjajaki kerja sama dengan dua universitas yang ada di Malaysia dan Filipina, mudah-mudahan tahun ini sudah ada Nota Kesepahaman (MoU),” kata Laksanto.

Laksanto mengatakan sampai saat ini banyak para penulis ilmiah bidang hukum, tetapi karena para reviewernya atau peninjau tulisan di bidang itu minim, sehingga berpengaruh pada jumlah tulisan yang terpublikasikan.

“Itulah sebabnya, APPTHI terdorong mendirikan jurnal internasional dan melakukan MoU dengan pihak lain untuk menambah jurnal hukum dan meningkatkan jumlah reviewer-nya,” kata Laksanto.
(sus)