PENDIDIKAN TINGGI

Perguruan Tinggi Swasta Butuh Pendampingan

4 Juli 2016

JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan mutu layanan pendidikan juga menjadi komitmen penyelenggara dan pimpinan perguruan tinggi swasta. Untuk itu, perguruan tinggi swasta pun butuh kesempatan memperbaiki diri melalui pendampingan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan asosiasi perguruan tinggi swasta.

Demikian dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M Budi Djatmiko di Jakarta, akhir pekan lalu. Dia mengatakan, penutupan 101 PTS yang tidak mampu memenuhi ketentuan pemerintah meskipun diberi kesempatan masuk dalam pembinaan merupakan langkah tegas yang didukung Aptisi.

“Kami dari Aptisi memang meminta kepada pemerintah supaya ada kesempatan untuk dibina terlebih dulu jika ada PTS yang bermasalah. Ternyata ada 101 PTS dari 243 PTS yang menyatakan tidak sanggup, ya lebih baik ditutup saja,” ujar Budi, yang juga Ketua Pembina Yayasan Universitas Narotama Surabaya.

Menurut Budi, Aptisi pro pada kualitas pendidikan tinggi. Akan tetapi, berikan kesempatan kepada PTS untuk memperbaiki melalui pendampingan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kopertis, dan Aptisi secara sungguh-sungguh.

“Yang jauh lebih penting apa solusinya? Bukan hanya saling menyalahkan. PTS butuh uluran tangan pemerintah untuk mengejar kualitas. Beda dengan PTN yang umumnya lebih berkualitas karena semuanya dibiayai pemerintah,” ujar Budi.

Mestinya berkelas dunia

Budi menambahkan, PTN mestinya lebih diarahkan untuk mencapai PT berkelas dunia, mengembangkan riset dan inovasi, serta banyak mengembangkan program S-2 dan S-3. Selain itu, juga fokus meningkatkan pendidikan tinggi di daerah terpencil dan terluar serta kawasan Indonesia timur. “Jangan kebalikannya, malah fokus mengembangkan S-1. Yang ini sebenarnya bisa diperkuat oleh PTS,” ujar Budi.

Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Thomas Suyatno mengatakan, penyelenggara PTS mendukung komitmen pada mutu dan menyambut baik adanya pembinaan yang ditawarkan Kemenristek dan Dikti untuk mewujudkan PTS yang berkualitas.

“Arah menuju kualitas itu mulai jelas. Setidaknya sudah digagas pertemuan tripartit dengan suasana dialogis yang rutin antara Kemenristek dan Dikti, ABPPTSI, serta Aptisi untuk membahas berbagai tantangan yang dihadapi PTS supaya bisa mengikuti ketentuan dalam memberikan layanan pendidikan tinggi,” ujar Thomas.

Menurut Thomas, ABPPTSI pun mendukung pemerintah agar memberikan izin pendirian PTS hanya kepada penyelenggara yang benar-benar mampu memenuhi ketentuan. Sebaliknya, terhadap penyelenggara yang memang tidak menunjukkan komitmennya memberikan layanan yang baik, pihaknya mendukung ada tindakan tegas dari pemerintah, termasuk penutupan.

Terkait batas waktu pemenuhan rasio dosen dan mahasiswa yang ditetapkan akhir Juni, ABPPTSI dan Aptisi meminta pemerintah untuk tetap memberikan kelonggaran. Itu karena pemenuhan dosen memang menjadi salah satu tantangan sebagian besar PTS.

“Dosen yang S-1 masih banyak. Ada yang sulit untuk S-2 karena program S-2-nya terbatas, seperti bidang kesehatan. Selain itu, tidak semua PTS mampu membiayai kuliah dosennya karena keterbatasan finansial. Kondisi riil ini perlu dipahami juga oleh pemerintah,” ujar Budi.

Sementara itu, Thomas menyatakan masih ada sejumlah aturan yang belum sinkron untuk pengajuan dosen dengan nomor induk khusus (NIDK) yang bisa dipakai dalam penghitungan rasio dosen : mahasiswa. Aturan teknis yang masih membingungkan ini membuat pengajuan NIDK dari PTS terhambat.

Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemenristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, periode Januari-Juni 2016 sudah ada 567 dosen ber-NIDK. Dukungan untuk peningkatan pendidikan dosen ke S-2 dan S-3 untuk tahun ini tersedia bagi 2.300 dosen dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. (ELN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2016, di halaman 12 dengan judul “Perguruan Tinggi Swasta Butuh Pendampingan”.