Anti Intelektualisme di Indonesia

ROBERTUS ROBERT

25 April 2016

Dulu, tahun 2002, pernah ada seorang menteri yang percaya, bahkan memimpin suatu proyek penggalian, harta karun ajaib di daerah Batu Tulis, Bogor. Belum lama ini, seorang menteri mengatakan bahwa “penyakit LGBT” bisa disembuhkan dengan cara terapi direbus bersama rempah-rempah. Dua contoh di atas menunjukkan betapa kuatnya anti intelektualisme dalam kehidupan publik di Indonesia.

Bagaimana ini mungkin? Bukankah mulai dari orang biasa hingga para pejabat dan pengusaha berlomba-lomba mencapai gelar doktor bahkan guru besar? Bukankah kini sekolah-sekolah pascasarjana dibuka di mana-mana? Bukankah setiap hari acara-acara televisi menampilkan perbincangan yang menyuguhkan para pengamat dan para ahli?

Intelektualisme tidak pernah identik dengan gelar akademis. Intelektualisme juga tidak identik dengan banyaknya pengamat dan pakar. Jeremy Jennings (1997) bahkan mengatakan, kemunculan para pakar, pengamat, dan komentator di media-media justru menunjukkan gejala meredupnya peran kaum intelektual. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

Anti intelektualisme adalah gejala penolakan atau setidaknya perendahan terhadap segala upaya manusia untuk mengambil sikap reflektif, berpegang konsep, ide, atau pemikiran dan perendahan terhadap mereka-mereka yang bekerja di dalamnya. Dalam praktik, anti intelektualisme sering didasari primordialisme dan sikap gampangan. Anti intelektualisme pada dasarnya adalah gerak balik ke arah kemunduran. Oleh karenanya, dengan memahami gejala anti intelektualisme, kita bisa memahami mengapa suatu masyarakat terlambat untuk tumbuh dan berkembang.  Untuk itu, yang pertama mesti kita gali adalah apa yang kiranya melatarbelakangi menguatnya anti intelektualisme?

Pemikir Amerika Richard Hofstadter dalam karya monumentalnya, Anti-intellectualism in American Life (1963),  mengidentifikasi tiga ekspresi utama  anti intelektualisme yang  berkembang di Amerika, yakni: pertama anti rasionalitas,  kebanyakan sikap ini diekspresikan oleh pandangan keagamaan yang sempit yang memandang bahwa akal budi manusia merupakan perangkat yang menjauhkan manusia dari realitas absolut keilahian.

Kedua, sikap anti elitisme,  dalam konteks Amerika, lebih merupakan penolakan terhadap berbagai bentuk pencapaian kesempurnaan, penolakan terhadap standar tertentu dalam rangka memuaskan aspirasi massa yang lebih besar.

Ketiga, instrumentalisme non-reflektif-yakni instrumentalisme yang diakibatkan oleh perluasan logika pasar kapitalis yang memperkuat sikap pragmatis dalam kehidupan-menumpulkan daya kritis dan memperluas konsumerisme.

Gejala mediokrasi dan “masyarakat info”

Beberapa ciri yang dikemukakan Hofstadter di Amerika dapat kita temui dalam pengalaman Indonesia. Salah satu ciri yang mirip dan terjadi di sini  adalah anti rasionalitas sebagai ekspresi dari sikap keagamaan yang sempit. Meski demikian, di Indonesia penguatan anti intelektualisme juga dipicu oleh perkembangan lain dalam demokrasi politik yang sering bersifat paradoksal. Salah satu titik berangkat yang dapat kita pakai untuk melihat anti intelektualisme adalah dalam gejala mediokrasi yang dipicu oleh demokratisasi media massa.

Kebebasan pers telah mendorong pertumbuhan industri media, telekomunikasi, dan informasi dalam perkembangan yang tak bisa diramalkan ke mana ujungnya. Meluasnya kebebasan dan akses kepada telekomunikasi serta informasi mendorong terjadinya demokratisasi pengetahuan. Demokratisasi pengetahuan terlihat dalam gejala: akses yang lebih mudah terhadap buku dan beragamnya versi serta sumber-sumber pengetahuan. Tak pelak lagi, masyarakat kita memang mengalami surplus pengetahuan.

Meski demikian, justru di sinilah ironi kebudayaan muncul: kuantitas bergerak terbalik dengan kualitas. Meluasnya akses terhadap sumber-sumber pengetahuan ternyata dengan serta-merta tidak diikuti oleh suatu sikap baru dan penghargaan atas pengetahuan dalam masyarakat. Di titik ini, yang terbentuk bukanlah masyarakat yang tumbuh dan didorong oleh suatu konsepsi kehidupan yang bisa dipertanggungjawabkan, melainkan  suatu “masyarakat info”,  yakni kehidupan publik yang dikendalikan oleh info-info.

“Masyarakat info” merasa diri mengetahui karena merasa menguasai beragam informasi meski sesungguhnya mereka tidak memahami. Masyarakat info senang untuk terlibat dalam aneka percakapan publik di berbagai media sosial tanpa merasa perlu memahami sejarah dan asal-muasal gagasan. Di sini, masyarakat info paralel dengan model keterlibatan publik yang “asal tampil”. Pada suatu titik, mereka merasa sering merasa lebih benar karena pikiran “gampangan” yang mereka praktikkan dianggap lebih menuntun pada “solusi praktis”.

Anti elitisme di Indonesia

Dalam zaman kini, orang merasa sudah dan mudah untuk merasa menjadi “intelek” karena Google dan debat para selebritas di TV. Debat, refleksi, dan komunitas berpikir dianggap tidak relevan lagi. Karenanya, akhirnya sering terjadi konsep, opini, teori, dan intelektual dianggap terlalu “abstrak”, “sulit”, dan tidak up to date. Pada akhirnya, opini, gosip, dan desas-desus dianggap lebih bernilai ketimbang konsep. Selebritas dan “pengamat” dipandang lebih menguasai soal ketimbang kaum intelektual. Popularisme lebih bernilai ketimbang gagasan.

Dominasi popularisme ini juga yang kemudian mendaur ulang pandangan “kebenaran mayoritas”: bahwa yang disukai oleh orang yang lebih banyak dianggap yang lebih benar. Di titik inilah anti intelektualisme di Indonesia juga mengidap pandangan anti elitisme.

Anti elitisme di sini tidak dimaksudkan sebagai anti “kaum elite/penguasa”, melainkan anti pada pandangan, pendapat, pikiran yang tidak beredar secara populer. Di sini pula Indonesia sering mendaur ulang stigma sosial dalam soal keagenan politik, yakni bahwa mereka yang terlalu melandaskan tindakan pada ide atau teori tidak tepat masuk dunia politik. Mereka juga kemudian dianggap tidak mampu memahami perasaan dan aspirasi orang banyak, elite, bersifat kebarat-baratan.

Hal lain yang juga muncul dari anti elitisme adalah keengganan pada keketatan berpikir. Orang yang setia pada rigiditas akan dengan mudah dipandang sebagai orang yang “tidak memahami dinamika masyarakat”, non-kompromis, dan keras kepala. Anti rigiditas ini yang kiranya juga tecermin dalam gejala mudahnya orang berkompromi dengan segala keadaan.

Anti intelektualisme juga berasal dari dunia pendidikan. Birokratisasi dunia pendidikan telah sedemikian rupa mengubah kultur akademik di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Di sekolah-sekolah, banyak guru terjebak dalam rutinitas kepegawaian sehingga proses pembelajaran di sekolah lebih merupakan ekspresi dari kedinasan yang secara ketat disupervisi oleh para atasan. Dengan itu, guru lebih memandang dirinya sebagai pegawai ketimbang sebagai mitra berpikir siswanya.

Sementara di universitas-universitas, gejala birokratisasi terkait dengan relasi-relasi antara universitas dan birokrasi negara dan pengusaha. Dalam situasi di mana universitas  secara politik dan ekonomi menjalin hubungan ketergantungan dengan orang-orang kuat, kultur akademik yang kritis redup digantikan dengan kompromi dan pengendalian. Ini pula yang mengawali pergeseran kaum intelektual menjadiexpert. Dengan expert,  dimensi kritik digeser menjadi semacam profesionalisme yang bebas nilai.

Yang terakhir, anti intelektualisme di Indonesia juga dipicu oleh menguatnya teknikalisasi dalam politik. Sejak kekuasaan politik bisa dicapai semata-mata secara teknis melalui iklan, pencitraan, dan survei, maka politik yang ideasional makin tidak dianggap penting. Banyak pemimpin hanya tertarik membaca liputan yang bagus tentang dirinya, mengambil sikap pragmatis, hingga gagal mengambil sikap prinsipiil dalam politik.

Apa kerugian dari menguatnya gejala ini? Anti intelektualisme pada dasarnya adalah anti pikiran dan anti kritik. Hilangnya sikap rigid, kritik, meluasnya kompromi, menguatnya  anti rasionalitas secara perlahan akan memengaruhi dunia pendidikan dan pembentukan kebudayaan  serta melahirkan tumpukan generasi medioker.

Indonesia muncul sebagai hasil kerja  dan sejarah kaum intelektual, kelangsungannya hanya bisa dirawat dan dijaga juga oleh kaum intelektual.

ROBERTUS ROBET

Sosiolog di Universitas Negeri Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2016, di halaman 6 dengan judul “Anti Intelektualisme di Indonesia”.

Versi Bhs Inggeris oleh Editorial Choice, Kompas

OPINION: A-Intellectualism in Indonesia

ROBERTUS ROBET
2016-04-25T13:13:18″

In 2002, a government minister believed in and even led an excavation project for a magical hidden treasure in Batu Tulis, Bogor. More recently, a minister said that the “LGBT sickness” can be cured through therapy involving boiling with herbs. These two examples show the strength of anti-intellectualism in public life in Indonesia.

How is this possible? Don’t all Indonesians, from ordinary people to state officials and business leaders, race one another in obtaining doctoral and even professorial degrees? Don’t television shows every day air discussions involving experts and observers?

Intellectualism has never been synonymous with academic titles. Intellectualism has also never been synonymous with the number of observers and experts in a society. Jeremy Jennings (1997) evensaid that the presence of experts, observers and commentators in the media indicates the degradation of intellectuals’ role. How can this be explained?

Anti-intellectualism is the tendency to reject or at least belittle all human effort to conduct reflective behavior based on concepts, ideas or thoughts and to look down upon those who are in this line of work. In practice, anti-intellectualism is often based on primordialism and a tendency to oversimplify things. Anti-intellectualism is basically a backward movement. Therefore, by understanding its symptoms, we can understand why a society’s development is stagnated. Because of this, the first thing that we will need to discuss arethe reasons behind the rise of anti-intellectualism.

American thinker Richard Hofstadter in his monumental piece Anti-Intellectualism in American Life (1963) identified three major expressions of anti-intellectualism that were developing in America: First was anti-rationality, which is often expressed through the narrow religious view that sees man’s common sense as the attribute that dissociates humanity from the absolute reality of divinity.

Second is anti-elitism, which in the American context is more of a rejection of many forms of perfection and a rejection of certain standards in satisfying the aspirations of a larger mass.

Third is non-reflective instrumentalism -which is instrumentalism as a result of an expansion of a capitalist market logic that strengthens pragmatism in life- that dulls the critical thinking ability and expands consumerism.

Indications of mediocrity and “an info society”

Several features that Hofstadter brought up about America can also be found in the Indonesian experience. One similar feature that is commonplace here is anti-rationality as an expression of a narrow religious view. Nevertheless, in Indonesia the rise of anti-intellectualism is also triggered by other developments in the often-times paradoxical political democracy. One starting point that we can use to see anti-intellectualism is the indications of mediocrity triggered by the democratization of the mass media.

Press freedom has driven the development of the media, telecommunications and information industries in unpredictable and unprecedented manners. The expansion of freedom and access to telecommunications and information has encouraged the democratization of knowledge. The democratization of knowledge can be seen from the symptoms: easier access to books and the diversified versions and sources of knowledge. Inevitably, our society experiences a surplus of knowledge.

Nevertheless, this is where a cultural irony rises: quantity moves inversely with quality. The expansion of access to knowledge sources apparently is not immediately followed by an acquirement of new attitudes and appreciation of knowledge in society. At this point, what is developed is not a society grown and developed by accountable conceptions of life, but rather an “info society”, which is a public life controlled by info.

An “info society” deems itself as knowledgeable because it thinks it has mastered lots of information even though it may have no idea what the information means. An info society is glad to be involved in various public discourses across many social media channels without feeling the need to understand the ideas’ history and background. Here, the info society is parallel with the model of public involvement that is “for appearance’s sake only”. At certain points, they often feel righteous as they see more guidance in their oversimplification of things rather than in “practical solutions”.

Anti-elitism in Indonesia

In this age, it is very easy for people to feel “intellectual” due to Google and celebrity debates on television. Debates, reflection and a thinking community are no longer deemed relevant. Consequently, most concepts, opinions, theories and intellectuals are deemed too “abstract”, “difficult” or outdated. In the end, opinions, gossip and rumors are deemed more valuable than concepts. Celebrities and “observers” are deemed more qualified in discourses than intellectuals. Populism becomes more valuable than ideas.

This domination of populism recycles the view of “truth by consensus”: that the thing people like more is deemed to be more righteous. At this point, anti-intellectualism in Indonesia also becomes anti-elitism.

Anti-elitism here is not defined as opposition to “the elites/those in power”, but instead an opposition to any view, opinion or idea that is not popularly adopted. Here, Indonesia recycles the social stigma in the case of political agency, in which those who base their actions too much on ideas or theories will be unfit to go into politics. They will also be deemed incapable of understanding the feelings and aspirations of the general public, to be elite, and to be westernized.

Another thing triggered by anti-elitism is the reluctance toward strictness in thinking. Those loyal to rigidity will easily be seen as people who “don’t understand the dynamics of society”, non-compromising, and stubborn. This anti-rigidity is also reflected in the tendency of people to easily compromise in various situations.

Anti-intellectualism is also rooted in education. The bureaucratization of education has significantly changed the academic culture in schools and universities. In schools, many teachers are so trapped in the routines of being employees that learning activities in schools have become more of an expression of office work with strict supervision from superiors. Therefore, teachers see themselves more as employees rather than their students’ partners in thinking.

Meanwhile in universities, the symptoms of bureaucratization are related to the relationship between universities and the bureaucracies of the state and of corporations. In a situation where universities have established political and economic dependence on powerful people, the academic culture of critical thinking is replaced by compromise and control. This leads to the shift of intellectuals into experts. As experts, the dimension of criticism shifts into some sort of value-free professionalism.

Lastly, anti-intellectualism in Indonesia is triggered by the rise of political technology. As political power becomes attainable through technical means such as advertising, branding and surveys, ideological politics becomes irrelevant. Many leaders are only interested in reading good reports about themselves and take a pragmatic stance, which leads to their failure to take any principled stance in politics.

What is the harm from this phenomenon? Anti-intellectualism is basically anti-ideas and anti-critical thought. The loss of rigidity and critical thought, and the expansion of compromise as well as the rise of anti-rationality has slowly affected education and the formation of our culture and has led the way to the building-up of a mediocre generation.

Indonesia rose as a result of the history and work of intellectuals. Its sustainability can only be achieved and maintained by intellectuals.

ROBERTUS ROBET

Sociologist at Jakarta State University