Re: Jaksa Tuntut Empat Dosen UGM Tiga Tahun Penjara

Benarkah dosen kami korupsi ?

Dosen kami tidak mengharapkan keuntungan ekonomi untuk pribadi atau kelompok (yayasan). Dosen kami ingin kegiatan belajar kami dan penelitian kami semua bisa berjalan semestinya sehingga bisa bermanfaat untuk negara.


Prof. Dr. Ir. Susamto Somowiyarjo, M.Sc.

Tulisan di bawah ini ditulis oleh Aliansi Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM sebagai persembahan untuk orang tua mereka, keempat dosen yang dituntut 3 tahun penjara oleh JPU dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jogja, Jumat (24/4).

                                          Yang Media Di Luar Sana Tidak Sajikan

Publik sempat dikejutkan oleh pemberitaan media massa tentang pemanggilan 4 dosen Fakultas Pertanian UGM oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Yogyakarta pada perempat awal tahun 2014 lalu. Pemanggilan 4 dosen senior tersebut dilatarbelakangi oleh dugaan korupsi atas penjualan aset berupa lahan yang disebut Jaksa dan Penyidik adalah milik negara cq. UGM. Keempatnya diduga telah merugikan negara karena menjual aset negara dan uang hasil penjualannya digunakan untuk memperkaya yayasan. Dugaan tersebut berakhir menjadi dakwaan atas keempat dosen yaitu Prof. Susamto (Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan), Ir.Ken Suratiyah (Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian), Ir. Toekidjo (Jurusan Budidaya Pertanian) dan Ir. Triyanto (Jurusan Perikanan).

Pada sekitar bulan November 2014, persidangan atas dakwaan kasus tersebut mulai digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Yogyakarta setiap seminggu sekali. Sampai ditulisnya artikel ini, persidangan telah sampai pada agenda tuntutan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada keempat terdakwa berupa tuntutan masing-masing 3 tahun penjara dan denda 150 juta rupiah subsider 4 bulan kurungan.

Menurut JPU dalam tuntutannya, para terdakwa mengalihkan lahan milik UGM ke Yayasan Pembina Faperta UGM, antara lain lahan seluas 29.875 meter persegi (m2) di Dusun Wonocatur, Desa Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Para terdakwa juga menjual beberapa bidang lahan, yakni tanah seluas 957 m2 dan 422 m2 di Dusun Plumbon, Banguntapan, senilai Rp 510 juta; tanah di Dusun Plumbon seluas 1.534 m2 dan 2.539 m2 senilai Rp 2,087 miliar; serta lahan di Dusun Wonocatur seluas 455 m2 senilai Rp 136,5 juta. Akibat pengalihan hak dan penjualan lahan itu, ujar Nurul, negara dirugikan Rp 11,2 miliar. Nilai kerugian itu terdiri dari hasil penjualan lahan sebesar Rp 2,7 miliar dan nilai lahan seluas 29.875 m2 yang dialihkan kepemilikannya secara tidak sah sebesar Rp 8,5 miliar (Kompas, 25 April 2015).

Namun tunggu dulu, ternyata setelah kami telusuri, media massa di luar sana memberitakan hanya sebagiannya saja. Mereka tidak menghadirkan sisi latar belakang dari lahan-lahan tersebut. Semisal mengapa lahan-lahan itu dijual? Untuk apa lahan itu dijual? Kenapa ada Yayasan di Perguruan Tinggi Negeri sekaliber UGM? Dan poin-poin kritis lain yang mereka tidak sertakan.

Asal Mula Lahan-Lahan Tersebut

Pada masa awal berdirinya UGM hingga tahun 1963, Fakultas Pertanian UGM tidak memiliki lahan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian. Kemudian pada tahun 1963, Prof. Sudarsono, Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) UGM saat itu, membeli sejumlah tanah di Kecamatan Banguntapan, Bantul, DIY, dengan dana yang terkumpul dari para alumni Faperta UGM. Karena letak lahan yang terpencar, akhirnya lahan-lahan tersebut ditukar guling sehingga terkumpul dalam beberapa titik saja di wilayah Desa Banguntapan, Kec. Banguntapan, Bantul.

Lahan-lahan tersebut digunakan sebagai lahan untuk penelitian dosen dan praktikum mahasiswa Faperta UGM. Meski demikian, lahan-lahan ini tidak pernah tercatat sebagai aset UGM. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua Surat Keterangan (SK) Rektor UGM. SK yang pertama dikeluarkan Rektor UGM Nomor 2964/J01/LK.03.01/2000 tertanggal 21 Juni 2000 dan ditandatangani oleh Rektor UGM saat itu, Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A. yang menyatakan bahwa tanah persil 180 di Desa Banguntapan adalah milik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian (yang sekarang bernama Yayasan Fapertagama) sejak tahun 1963. Sedangkan SK kedua dikeluarkan pada 26 Juli 2014 dan ditandatangani oleh Rektor UGM saat itu, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc perihal tanggapan permohonan penjelasan aset tanah di Desa Banguntapan yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak tercatat sebagai aset UGM. Kemudian telah dikeluarkan pula keterangan resmi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai kementrian yang menaungi UGM bahwa lahan-lahan tersebut tidak pernah tercatat dalam neraca aset Kemendikbud. Dari sini telah jelas bahwa lahan-lahan itu bukan milik UGM atau secara otomatis bukanlah milik negara seperti yang dituduhkan JPU.

Mengapa JPU Ngotot Lahan Tersebut Milik UGM?

Dalam transaski pengadaan lahan-lahan untuk kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Faperta UGM pada 1963, Prof. Sudarsono menggunakan namanya sendiri untuk mempermudah. Transasksi ini dicatat oleh Pemerintah Desa Banguntapan dengan menambahkan “UGM” di belakang nama Prof. Sudarsono dengan maksud agar tidak tertukar dengan Sudarsono-Sudarsono yang lain, yakni supaya lebih mudah dibedakan karena saat itu Prof. Sudarsono berprofesi sebagai dosen di UGM. Lambat laun, lahan-lahan tersebut dikelola oleh Yayasan Pembina Fakultas Pertanian yang baru berdiri pada 1969. Hal ini dibuktikan dengan adanya bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan-lahan tersebut oleh Yayasan Pembina Faperta selama puluhan tahun. Namun, masalah nama dalam pencatatan inilah yang kemudian menjadi latar belakang dakwaan JPU dalam kasus ini.

Yayasan Fapertagama, Sering Disebut-Sebut tapi Jarang Dibahas

Yayasan Pembina Fakultas Pertanian atau yang sekarang berganti nama menjadi Yayasan Fapertagama merupakan yayasan non-profit yang terpisah dari UGM. Yayasan ini beranggotakan semua dosen Fakultas Pertanian UGM. Sebelum adanya Undang-Undang Yayasan pada tahun 2001, Yayasan Pembina Fakultas Pertanian dipimpin oleh Dekan Faperta seebagai ex-officio. Dengan adanya UU Yayasan, Yayasan Pembina Faperta berganti nama menjadi Yayasan Fapertagama dengan perubahan susunan kepengurusan menyesuaikan UU tersebut. Sekarang Yayasan Fapertagama diketuai oleh dosen non-Dekan Faperta.

Yayasan Pembina Faperta berdiri pada 1969. Pendirian yayasan ini diprakarsai oleh dosen Faperta angkatan pertama dengan maksud untuk membantu terselenggaranya Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan Faperta UGM. Seperti yang telah disinggung, kala itu, alokasi dana dan akses penyelenggaraan pendidikan tidak semudah masa sekarang. Yayasan yang didirikan bertujuan untuk menyokong terwujudnya Tri Dharma Perguruan Tinggi terutama dalam hal kesejahteraan dosen.

Menurut penuturan dosen-dosen Faperta, zaman dulu menjadi dosen itu hal yang tidak enak. Banyak alumni Faperta yang lari ke sektor perkebunan karena gaji dan fasilitas yang sangat memadai. Akhirnya yayasan berperan penting dalam menopang kesejahteraan dosen-dosen di Faperta UGM. Kontribusi yayasan diantaranya adalah menyediakan perumahan dosen bagi dosen muda yang belum punya rumah sendiri, biaya akomodasi seminar baik dalam maupun di luar negeri, bantuan biaya pendidikan lanjutan bagi para dosen di luar negeri, bantuan biaya kursus Bahasa Inggris, bantuan biaya pengobatan, bantuan pengadaan buku perpustakaan, bantuan pengadaan fasilitas fisik kampus seperti alat administrasi, sambungan internet, dan sebagainya.

Dari yayasan ini pula-lah rasa kekeluargaan dosen dan karyawan Fakultas Pertanian terjalin erat. Yayasan bukan milik satu atau dua orang, tetapi milik semua dosen di lingkungan Faperta UGM. Saat ini, Yayasan Fapertagama diketuai oleh Dr. Lestari Rahayu, dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, dan berkantor di Gedung A11 Fakultas Pertanian UGM.

Mengapa Kami Yakin Lahan Ini Milik Yayasan?

Sejak awal, adanya lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian. Pada tahun 1966, Prof. Soemartono dari Program Studi Pemuliaan Tanaman berhasil menemukan padi lahan kering varietas Gama-61 yang kini telah banyak digunakan di berbagai daerah bahkan hingga ke India berkat keberadaan lahan-lahan tersebut. Penemuan ini ternyata berperan besar dalam mengatasi kekurangan pangan di daerah yang sulit air karena padi lahan kering (padi gogo) sangat irit air. Kemudian untuk seterusnya, semua mahasiswa Fakultas Pertanian selain Jurusan Perikanan pernah merasakan belajar (praktikum) di lahan-lahan tersebut. Bahkan kami juga sudah akrab dengan salah satu lahan yang masih produktif untuk digunakan berkegiatan yaitu Kebun Tridharma, yang terletak sekitar 1 KM ke arah barat daya dari Rumah Sakit TNI AU Hardjolukito (Ring Road Timur, Banguntapan, Bantul) karena sering melaksanakan kegiatan praktikum disana. Nampaknya lahan-lahan ini telah berperan besar dalam menghasilkan ribuan sarjana pertanian yang kini telah tersebar di berbagai penjuru untuk mengabdi kepada Tanah Air.

Sejak berdirinya yayasan, lahan-lahan belum bersertifikat ini dikelola dan dibayarkan PBB-nya setiap tahun. Lahan-lahan ini juga masuk ke dalam laporan tahunan aset yayasan dan selalu disebut dalam laporan yayasan saat pertemuan alumni Faperta UGM sebagai aset yayasan. Telah ada mandat dari para dosen senior pada kurun waktu 1980-1990 untuk segera menelusuri aset-aset yayasan berupa lahan agar tidak hilang dan bisa terus dimanfaatkan. Maka pada 1995,pada masa kepemimpinan Prof. Tumari, yayasan membentuk Tim Penelusuran Aset. Dari hasil kerja tim tersebut, ditemukan beberapa lahan milik yayasan yang berada di beberapa titik. Sebagiannya belum bersertifikat. Lalu atas keputusan rapat pleno yayasan, disertifikatkanlah lahan-lahan tersebut.

Proses sertifikasi tanah tersebut dimulai dengan menelusuri data kepemilikan lahan ke Pemerintah Desa Banguntapan. Dari sana tim mendapat salinan data dalam Buku Papriksan Desa yang tidak sembarang orang boleh melihatnya. Dalam salinan tersebut yang dinyatakan dalam Surat Keterangan Kepala Desa, dinyatakan bahwa lahan persil 41, 42 dan 180 adalah milik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian. Dengan berpegang pada keterangan dari pemerintah desa tersebut, Tim menyertifikatkan lahan. Dari sinilah kami semua yakin bahwa lahan-lahan tersebut adalah milik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian. Apalagi dengan bukti pembayaran PBB atas lahan-lahan tersebut selama puluhan tahun.

Sejak dulu, telah ada mindset dalam benak mahasiswa dan dosen-dosen Fakultas Pertanian UGM bahwa tanah yang dipakai untuk kegiatan praktikum dan penelitian adalah milik yayasan. Hal ini juga didasari selain oleh keterangan berupa dokumen, namun juga pada keyakinan bahwa Fakultas Pertanian UGM maupun UGM sendiri adalah obyek hukum yang dalam prakteknya keduanya tidak punya hak milik atas aset seperti tanah. Adapun misalnya penguasaan atas lahan-lahan dalam lingkungan kampus UGM adalah sebagai hak pakai.

Alasan Lahan-Lahan Ini Dijual

Pada tahun 2003, kembali dibentuk Tim Revitalisasi Aset Yayasan yang ketuai oleh Ir. Ken Suratiyah dan beranggotakan Ir. Toekidjo dan Ir. Triyanto. Tim ini dibentuk berdasarkan hasil rapat pleno yayasan yang menyatakan bahwa tanah persil 41 dan 42 yang ada di Desa Banguntapan tidak lagi cocok untuk penelitian maupun praktrikum mahasiswa. Kendala saluran irigasi dan lingkungan yang ramai karena dekat perumahan warga (dimungkinkan akan dapat banyak gangguan jika menanam di lahan tersebut seperti gangguan dari ayam-ayam yang dipelihara warga) menjadi poin utama dalam pertimbangan tersebut. Kemudian tim revitalisasi menukarkan lahan tersebut dengan lahan di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DIY yang luasnya beberapa kali lipat lebih luas dari lahan sebelumnya, dan kondisinya jauh lebih baik untuk penelitian. Dipilihnya lahan di Desa Wukirsari tersebut karena ketinggian tempatnya lebih dibanding Banguntapan, sehingga suhu dan kelembabannya lebih sesuai untuk tanaman. Lalu saluran irigasinya lebih mungkin dengan lokasi yang belum banyak mendapat gangguan dari aktivitas manusia maupun hewan.

Bagi Jaksa, Uang dan Uang

Jaksa bilang, para terdakwa telah merugikan negara sebesar Rp 8,5 miliyar. Dari mana angka 8,5 miliyar tersebut didapat?

Ternyata jaksa hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi. Padahal apa yang dilakukan para terdakwa merupakan usaha untuk mendapatkan keuntungan yang oleh Rektor UGM periode sebelum ini, Pak Pratikno, adalah keuntungan akademik. Analogi Jaksa yang profit oriented menuntun perhitungan tersebut kepada perbandingan harga tanah. Yaitu, jika tanah persil 41 dan 42 dijual sekarang, maka harganya akan sangat tinggi mengingat letak lahan yang masih berada di kawasan Kota Yogyakarta (dekat Jogja Expo Center). Kenapa para terdakwa menjualnya dulu? Jawabannya adalah, yang para dosen kami cari adalah lahan untuk meneruskan tegaknya Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kenapa mesti menunggu harga tanah di Jogja menjadi mahal jika Tri Dharma Perguruan Tinggi bisa diwujudkan segera? Negara mana sih yang dirugikan, jika memang lahan yang dijual adalah lahan bukan milik UGM? Dan jika dengan ditukarkannya lahan-lahan tersebut UGM jadi lebih produktif dari sisi kegiatan belajar dan penelitiannya? Bukankah melegakan bila inovasi -inovasi di bidang pertanian akan bermunculan berkat ide dosen-dosen kami ini? Bukankah melegakan jika kami, para mahasiswa, bisa belajar dengan tenang di lahan yang lebih kondusif dan lebih luas?

Dosen kami tidak mengharapkan keuntungan ekonomi untuk pribadi atau kelompok (yayasan). Dosen kami ingin kegiatan belajar kami dan penelitian kami semua bisa berjalan semestinya sehingga bisa bermanfaat untuk negara.Kemudian dalam persidangan, Jaksa selalu menanyakan perihal rekening yang dipakai untuk menyimpan uang hasil transaski jual-beli tanah, kenapa harus atas nama pribadi terdakwa, dan kenapa transaksi pembelian tanah baru yang di Wukirsari pun menggunakan nama pribadi terdakwa?

Pertama soal rekening. Rekening milik Yayasan Fapertagama memakai nama pribadi beberapa pengurusnya. Hal ini dilakukan supaya lebih mudah dalam transaksi di bank. Selebihnya pengelolaan rekening beserta isinya dikelola penuh oleh bendahara yayasan, bahkan si pemilik nama dalam rekening tidak pernah tahu mengenai isi dna transaksi dalam rekening yang memakai namanya.

Prof. Susamto adalah salah satu orang yang namanya dipinjam untuk rekening yayasan. Suatu saat beliau ditelepon pihak bank karena rekening atasnamanya memenangkan undian berupa mobil Daihatsu Innova. Namun Prof. Susamto tidak mengambil mobil tersebut melainkan malah menyerahkannya untuk yayasan karena uang dalam rekening atasnamanya adalah uang yayasan. Sampai detik ini, mobil berwarna silver tersebut masih terparkir di parkiran mobil milik Fakultas Pertanian dan Yayasan Fapertagama di belakang gedung A1 Faperta UGM dengan nomor polisi AB 1818 YN. Sejauh ini, mobil tersebut dimanfaatkan untuk keperluan Fakultas dan Yayasan, seperti menjemput tamu fakultas, termasuk mengangkut para dosen dan karyawan menuju Pengadilan TIPIKOR Yogyakarta untuk menyaksikan jalannya sidang kasus tuduhan korupsi yang sedang kita bahas ini.

Kedua soal transaksi pembelian tanah. Pembelian tanah di Wukirsari diatasnamakan Ir. Triyanto. Hal ini supaya lagi-lagi untuk memudahkan transaksi. Coba Anda membeli tanah atas nama organisasi yang Anda ikuti, tentu akan lebih sulit dibanding jika Anda membelinya atas nama Anda namun untuk organisasi Anda. Artinya adalah, nama Ir. Triyanto dalam transaksi adalah perwakilan dari Yayasan Pembina Fakultas Pertanian. Sebelumnya telah ada perjanjian bahwa tanah dibawah nama Ir. Triyanto yang dibeli dari dana yayaasan akan menjadi milik yayasan, Ir. Triyanto hanya dipinjam namanya.

“Yayasan Adalah Modus Kejahatan Baru”

Jaksa bilang, karena uang yang didapat dari penjualan masuk ke yayasan, maka yayasan
adalah modus kejahatan baru untuk merampas kekayaan negara. Lalu apalagi besok? Apakah kegiatan belajar mahasiswa-kah yang akan dituduh sebagai modus kejahatan baru untuk merampas harta negara?

Pak dan Bu Jaksa, agaknya perlu ada pelunakkan disini. Kami sangat menyayangkan para Jaksa yang menangani kasus ini berpikiran hanya secara formil, bukan secara substansial. Atau mungkin Jaksa memang diharuskan berpikiran demikian, entahlah, kami hanya mahasiswa Fakultas Pertanian biasa yang sehari-hari belajar soal pertanian dengan giat.

Bukankah melegakan ketika dosen-dosen kami tidak mengajar kami di kelas dan membimbing skripsi saja? Bukankah melegakan jika dosen-dosen kami punya inisiatif untuk memperluas arti perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi itu sendiri dengan salah satunya pengadaan lahan penelitian ini? Bukankah melegakan ketika dosen sebagai salah satu agen dalam bidang pendidikan tidak hanya menunggu gaji di awal bulan, namun telah berpikiran jauh untuk kebaikan masa depan penelitian instansi pendidikan tempatnya bekerja? Sekelumit hal ini mungkin tidak sampai di benak para jaksa.

Jika memang ada sepeser keuntungan ekonomi yang mengalir ke pribadi dosen-dosen kami, jika benar dosen-dosen kami punya niat jahat atas semua ini, kenapa kami para mahasiswa gusar dan menentang tuduhan para jaksa? Tentu ada yang kami yakini tidak beres dengan tuduhan JPU yang terhormat.

Tertanda, Aliansi Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM.

Salinan Tulisan ini Bisa Unduh di :
http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2015/05/UNTUK-ORANGTUAKU.pdf

Biodata Prof.Dr.Ir. Susamto Somowiyarjo, M.Sc. bisa baca di
http://hpt.faperta.ugm.ac.id/profil/40

SaveProf.SusamtoDkk#