TERKADANG HUKUM ITU MEMANG KEJAM


Pak  Ismail Novel, Sumber Gambar: Padang Express

Oleh: Rektor IAIN Semarang, Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag

12 Maret 2014

Kalau para koruptor yang telah menilap uang negara milyaran  bahkan triyunan rupiah, barangkali sangat pantas untuk dihukum, bahkan hukuman mati sekali pun, atau kalau para bandar narkoba yang membuat generasi menjadi teler kemudian dihukum berat sampai mati, juga  sangat wajar bahkan harus.  Tetapi kalau ada kesalahan administrasif, yakni membuka program studi di perguruan tinggi dan menerima mahasiswa sebelum ijin keluar, alias masih dalam proses pengurusan ijin, kemudian dihukum penjara dan denda, tentu sangat berat dan tidak adil.

Tuduhannya pun adalah korupsi secara bersama sama atau korporatif.  Secara riil setelah dilakukan pemeriksaan dan  sidang di pengadilan tipikor, persoalan tersebut dinyatakan tidak ditemukan  unsur korupsi dan karena itu yang bertanggung jawab atas pembukaan prodi tersebut dinyatakan bebas murni, meskipun sebelumnya sudah ditahan terlebih dahulu.  Namun  disebabkan jaksa kemudian banding pada saat dimana  banyak masyarakat menyorot persoalan korupsi tersebut sedemikian hebat dan harus dilakukan sanksi berat, maka Mahkamah Agung kemudian memberikan keputusan hukuman 2 tahun dan denda sebanyak 100.000.000 rupiah.

Tentu hukuman tersebut sangat mengejutkan, sebab disamping setelah dilakukan proses persidangan di pengadilan tipikor, unsur tuduhan jaksa tidak terbukti, juga tuntutannya saat itu hanyalah 1 tahun, tetapi MA kemudian  menjatuhkan hukumannya sedemikian berat, khususnya bagi  yang bersangkutan, yakni ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bukit Tinggi  Sumatera Barat.  Kalau misalnya hanya hukuman denda saja sudah sangat berat, karena  dia sama sekali tidak melakukan korupsi, sehingga uang 100 juta sungguh sangat berat. Nah,  dalam kenyataannya justru juga dihukum badan selama 2 tahun dipotong masa tahanan.

Tuduhan melakukan korupsi secara bersama sama yang dialamatkan kepada ketua STAIN Bukit Tinggi tersebut terlalu dipaksakan, karena pada kenyataannya, program studi yang dipermasalahkan tersebut kemudian  juga mendapatkan ijin sebelum para mahasiswanya  menyelesaikan studinya, dan bahkan saat ini sudah terakreditasi oleh BAN PT,  sehingga meskipun awalnya ijin masih diproses, tetapi toh pada akhirnya  keluar dan mahasiswa tidak dirugikan.  Mereka memang membayar kuliah, dan mereka juga mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya dan pada akhirnya juga dapat ujian akhir dan mendapatkan ijazah dari prodi yang terakreditasi.

Kalau kemudian juga dipermasalahkan  disebabkan menarik iuran dari mahasiswa, memang mereka  secara aturan yang ada  diharuskan membayar uang SPP dan mereka tidak keberatan, karena sudah mengetahui semenjak sebelum mereka masuk ke perguruan tinggi tersebut.  Keperluan SPP tersebut ialah untuk pembiayaan  proses studi di perguruan tinggi tersebut, baik untuk hal hal yang terkait dengan administrasi, maupun yang terkait dengan penyelenggaraan perkuliahan, ujian dan lainnya.  Dan dalam prosesnya juga tidak ditemukan unsur kerugian negara dalam pemeriksaan oleh BPK, nah, lantas dimana kesalahannya yang bersifat pidana?, sehingga yang bersangkutan harus dihukum demikian berat?.

Saya sendiri memang sangat mendukung  untuk diberikannya sanksi hukum yang berat kepada para koruptor yang memang benar benar merugikan negara dengan memperkaya diri atau pihak lain.  Rupanya semangat untuk memberantas korupsi kemudian disalah gunakan untuk juga membabat orang orang yang  dengan tululs meaksanakan amanat undang undang dasar, yakni  upaya mencerdasakan bangsa melalui pendidikan formal.

Memang ketua STAIN Bukit Tinggi salah dalam membuka prodi tersebut, karena ijin baru diproses, tetapi sudah membuka pendaftaran mahasiswa baru.  Idealnya dan seharusnya  setelah ijin diperoleh, barulah  menerima mahasiswa baru, namun kita juga dapat mengerti kenapa ketua STAIN Bukit Tinggi melakukan hal tersebut?.  Salah satu pertimbangannya ialah bahwa senat telah memutuskan untuk segera menerima mahasisswa baru sambil proses ijin, karena   pada lazimnya untuk ijin tersebut akan dapat diperoleh sebelum mahasiswa menyelesaikan  studinya, sehingga tidak ada yang dirugikan.

Pertimbangnan lainnya ialah adanya Keputusan Menteri Agama RI nomor  387 tahun 2004, yang salah satu butirnya (pasal 3 butir e) menyatakan bahwa salah satu syarat untuk memperoleh ijin pembukaan prodi ialah adanya calon mahasiswa.  Nah, pemahaman atas  diktum tersebut tentu calon tersebut sudah ada dalam genggamannya.  Sebab kalau calon mamhasiswa yang dimaksudkan  tersebut belum diterima, maka  penyelenggara pendidikan tersebut belum dapat menunjukkan  adanya calon mahasiswa.

Memang sekali lagi apa yang disampaikan di atas bukan untuk membenarkan sesuatu yang sesungguhnya salah, namun kesalahan tersebut sudah lazim dilaksanakan oleh banyak perguruan tinggi, sehingga hal seperti itu dianggap biasa dan  dimaklumi.  Saya sepakat bahwa kesalahan harus dupayakan perbaikannya, dalam dalam hal tersebut, barangkali internal kementerian yang membina perguruan tinggi tersebut, dalam hal ini kementerian agamalah yang melakukan pembinaan, dengan memberikan teguran dan sejenisnya.

Nah, yang luar biasa, persoalan ini kemudian menjadi masuk dalam ranah pidana khusus, yakni korupsi, dan kemudian melahirkan keputusan yang sangat  tampak tidak adil. Coba kita tengok masih banyak  kasus korupsi yang sangat jelas merugikan negara dan  memperkaya diri dan pihak lain, yang belum tersentuh oleh hukum dan bahkan nampaknya tidak akan tersentuh.  Tetapi persoalan  ijin memperoleh program studi dan pada tahap berikunya ijin tersebut benar benar muncul dan tidak ada pihak manapun yang dirugikan, termasuk negara, tetapi penyelenggara pendidikan tersebut harus meringkuk dalam  jeruji selama 2 tahun dan sekaligus denda 100 juta.

Bagi seorang ketua STAIN denda sebesar itu memang cukup berat, apalagi harus juga menjalani hukuman selama 2 tahun, padahal secara riil yang bersangkutan tidak melakukan dosa besar, dan kalaupun kemudian memang bersalah, maka kesalahannya hanyalah bersifat administratif semata.  Menurut saya  kasus ini merupakan kejadian yang luar biasa dan dapat disebut sebagai megkriminalisasikan pendidikan.  Memang meskipun di dunia pendidikan, tetapi kalau ada unsur korupsinya, kita sepakat untuk tetap diproses dan dilakukan penanganan sebagaimana mestinya.  Hanya saja kalau tuduhan jaksa tidak  terbukti dalam proses persidangan, sebagiaman yang sudah dilakukan di pengadilan tipikor padang, janganlah dipaksakan  untuk  tetap dihukum dengan tuduhan korupsi.

Memang akhir akhir ini Mahkamah Agung baru  ingin mendapatkan apresiasi dari masyarakat, yakni dengan memberikan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya.  Kita memang sutuju dan mendukung langkah tersebut, tetapi seharusnya juga  dengan mencermati perkaranya secara detail dan tidak asal menjatuhkan hukuman yang lebih berat, sebab  di sana ada pihak yang “terdhalimi” dengan keputusan seperi itu.  Kalau memang di pengadilan sebelumnya terbukti menjalankan korupsi, tetapi dihukum dengan hukuman tertentu, dan masih melakukan  kasasi, maka layak MA menghukumnya dengan hukuman maksimal.

Namun kalau dalam proses peradilan sebelumnya tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti, tetapi kenyataannya  masih saja dihukum yang lebih berat di MA ketimbang tuntutan jaksa itu sendiri, tentu hal tersebut merupakan persoalan tersendiri.  Bukankah  salah untuk tidak menghukum  seseorang yang sesungguhnya  bersalah  itu jauh lebih baik dari pada salah dalam menghukum seseorang yang sesungguhnya tidak melakukan kejahatan.

Untuk itu  dalam kasus ini saya  melihat ada  ketidak adilan dalam keputusan MA, sebagaimana juga yang sudah pernah  terjadi atas keputusan  kasus malpraktek dr. Ayu Cs.  Rupanya  MA ingin mencari sensasi, tetapi tidak melihat kasus per kasus, sehingga ada ketidak adilan di sana.  Semoga ke depannya kasus kasus seperti itu tidak lagi muncul dalam keputusan MA.

Update berita:

Senin, 19 Mei 2014 – 20:48:49 WIB
KOMNAS HAM KONFIRMASI KASUS ISMAIL NOVEL

Diprotes Mahasiswa, Ketua STAIN Bukittinggi Tetap Ditahan

Baca juga :

Surat Terbuka

Dari : Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc., M.Ag, Asy’ari, M.Si,
dan segenap civitas akademika STAIN Bukittinggi

Kepada : Hakim Agung Artijo Alkostar, Wamenkumham Deni Indrayana, Ketua MK Hamdan Zoelva, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, dkk

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam hormat,

Terlebih dahulu Kami sampaikan kepada Bapak-bapak yang mulia bahwa Kami adalah anak-anak bangsa, dosen Perguruan Tinggi Agama Islam yang tidak pandai berpolitik. Kami hanya anak-anak bangsa yang konsen belajar dan mengajar ilmu-ilmu pengetahuan dan keagamaan dengan tujuan untuk membantu mencerdaskan anak-anak bangsa yang lain. Kesibukan kami belajar dan mengajar membuat Kami terisolasi dari dunia politik hingga Kami nampak begitu bodoh dan tergagap saat menghadapi serangan bertubi-tubi dari dunia Hukum.

Kami bukanlah putra-putri terpilih bangsa, bukan juga orang-orang yang mulia, akan tetapi Kami orang-orang yang beritikad baik menginginkan anak-anak bangsa yang lain lebih cerdas dan memiliki kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan di kampus Kami tercinta, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Sumatera Barat.

Melalui surat terbuka ini, Kami anak-anak bangsa yang tidak pandai berpolitik, mengajukan keberatan atas putusan bersalah oleh Mahkamah Agung terhadap Ketua STAIN Bukittinggi, Dr. H. Ismail, M.Ag. Sesungguhnya putusan Pengadilan Tipikor Padang yang menyatakan Ketua STAIN Bebas Murni adalah putusan yang sangat adil dan menggambarkan keadilan hukum yang nyata dan riil. Keadilan yang Kami perjuangkan di Pengadilan Tipikor Padang pada tahuan 2012 bersama ribuan mahasiswa, karyawan dan masyarakat yang merindukan keadilan di Bumi Minangkabau menjadi sirna dan hilang begitu saja dengan terbitnya putusan Mahkamah Agung yang Kami nilai menciderai rasa keadilan. Bagi Kami Putusan Mahkamah Agung itu ibarat petir di siang bolong yang meluluhlantahkan harapan, pikiran dan rasa keadilan yang selama ini Kami perjuangkan. Kami sedih, Kami terpukul, Kami teraniaya…., dan Kami terzalimi oleh putusan Mahkamah Agung yang Kami anggap sebagai Rumah Besar Hukum dan Keadilan Ibu Pertiwi.

Kami adalah anak-anak bangsa yang menyibukan diri dengan mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, bergulat dengan buku, dan bergaul dengan mahasiswa, masya-rakat dan lingkungan sekitar. Kami tidak punya peluang merugikan Negara, dan Kami juga tidak berurusan dengan uang di Perguruan Tinggi Kami. Kami bingung dan tidak mengerti “Dari sisi mana Kami didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut?!” Kami hanya pakerja dunia pendidikan yang berurusan dengan pendidikan mahasiswa. Kami bukan orang-orang kaya, juga bukan orang-orang yang ingin mencari kaya dan menumpuk kekayaan. Kami ber-kumpul di Bukittinggi dari berbagai daerah dan suku bangsa yang berbeda untuk mencari sesuap nasi yang efek energinya Kami salurkan siang malam untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan keagamaan kepada para mahasiswa. Konsep hidup Kami sangat sederhana, penampilan seder-hana, rumah sangat sederhana, dan jika pun Kami punya mobil itu hanya mobil bekas dan rongsokan.

Bapak-bapak yang Kami muliakan. Bapak diberi kehormatan sebagai wakil Tuhan untuk menghukum seseorang bahkan mencabut nyawa dengan hukuman mati. Oleh karena Bapak sangat dimuliakan, berilah Kami kesempatan untuk sama-sama mencari kemuliaan dan kehormatan di hadapan Tuhan dan masyarakat dengan profesi Kami sebagai tenaga pendidik dan kependidikan. Kami memohon dari hati Kami yang paling dalam agar Bapak yang mulia tidak melakukan “Kriminalisasi dunia Kami, Dunia Pendidikan”! Kami memohon dari nurani Kami yang paling dalam agar Bapak tidak menghukum Kami dengan hukuman yang tidak sepantasnya Kami terima. Kami pekerja pendidikan yang siang malam mengajar dan mendidik anak-anak bangsa yang lain. Kami bukan budak yang bekerja tanpa aturan, Kami bukan pekerja pendidikan yang mengabaikan aturan dan regulasi pendidikan. Dari hati nurani yang paling dalam Kami bermohon agar Bapak tidak mencabut nyawa Kami dengan mematikan visi, misi, langkah, kerja progressivitas Kami untuk dunia pendidikan. Di kampung kecil bernama Bukittinggi, di wilayah tempat lahirnya para founding father ini Kami memimpikan sebuah laboratorium ilmu pengetahuan berskala world class untuk menghasilkan sumber daya manusia yang qualified dan tercerahkan.

Bapak-Bapak yang Mulia dan Kami hormati,

Ketua STAIN Bukittinggi, Dr. H. Ismail, M.Ag, didakwa melanggar pasal 2 (1) dan pasal 3 UU Tipikor karena diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi dana DIPA tahun 2007 s/d 2010 ber-kaitan pembukaan 5 program studi baru sebelum memperoleh izin dari Dirjen Pendidikan Islam. Sementara terdapat Surat Edaran, tidak boleh menerima mahasiswa sebelum ada izin. Karena-nya, membiayai prodi-prodi baru dengan DIPA dianggap merugikan keuangan negara. Setelah melewati persidangan dengan menghadirkan 30 orang saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyimpulkan Ketua STAIN hanya terbukti bersalah melanggar pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang merupakan tuntutan subsider. Bunyi pasal 3 tersebut,”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Untuk dapat menjerat Ketua STAIN, maka aksentuasi/penekanan pembuktian JPU dari pasal ini adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, karena jabatan atau kedudukan dan merugikan keuangan negara. Dalam pembacaan tuntutan setebal 248 halaman itu, JPU menyimpulkan bahwa Ketua STAIN dengan mengeluar-kan pembayaran honor, insentif dan uang transportasi kepada dosen tetap dan dosen luar biasa serta beasiswa miskin dan berprestasi pada 5 program studi baru yang izinnya sedang proses, dipandang sebagai tindakan memperkaya korporasi. Memandang STAIN sebagai korporasi meru-pakan suatu yang menarik untuk didiskusikan. STAIN Bukittinggi merupakan institusi Pendidikan Tinggi Islam Negeri dimiliki oleh Negara. Tentunya jika dipandang menguntungkan korporasi maka konsekuensi logisnya yang diuntungkan adalah Negara.

Selain itu, tindakan Ketua STAIN Dr. H. Ismail, M.Ag, membuka prodi baru dan melakukan penerimaan mahasiswa baru sebelum keluar izin dipandang oleh JPU sebagai bentuk penyalah-gunaan wewenang, yakni tidak melaksanakan wewenang atau melaksanakan tidak sebagaimana mestinya. Dalam kaitan ini, Ketua STAIN, berdasarkan amanat STATUTA dan dalam pencapaian visi dan misi lembaga memiliki wewenang untuk mengembangkan lembaga dalam bentuk pembukaan prodi baru. Namun terdapat Surat Edaran (SE) Dirjen Pendidikan Tinggi Islam No. Dj.I/PP.02.3/04/07, 23 Agustus 2007 dan SE.Dj.I/Dt.I.IV/PP.00.11/04/08, salah satu klausulnya menyebutkan tidak boleh menerima mahasiswa baru sebelum keluar izinnya. SE inilah yang dijadikan pijakan oleh JPU bahwa Ketua STAIN menyalahgunakan wewenang. Mencermati hal tersebut, logika yuridis yang dipakai oleh JPU adalah bahwa SE merupakan norma yang memiliki kekuatan hukum dan berakibat hukum bagi yang tidak mengikutinya.

Perlu dicermati, dalam hirarkis perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, pasal 7 dan 8, tidak ditemukan adanya SE. Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen No. 22 Tahun 2008, pengertian SE adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Selanjutnya di Permendagri No. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan, SE adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.

Prof. H. Bahrul Hayat, Ph.D., Sekjen Kemenag RI yang dihadirkan dipersidangan sebagai saksi sekaligus sebagai orang yang menandatangani SE tersebut menjelaskan bahwa SE hanyalah bersifat himbauan, pemberitahuan dan tidak memiliki sanksi hukum apalagi sanksi pidana. Kemudian Dr. Mastuki, M.Ag, sebagai orang yang menggawangi perizinan prodi baru juga memberikan keterangan bahwa SE itu hanya bersifat prepentif agar Perguruan Tinggi terus mengurus izin sebagai syarat akreditasi. Bagi Perguruan Tinggi Negeri izin sudah pasti keluar, hanya saja karena Perguruan Tinggi jumlahnya ratusan di Indonesia yang mengurus izin maka dibutuhkan waktu yang relative panjang sampai izin keluar. SE tersebut lebih ditujukan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) guna menertibkan prodi-prodi yang secara “bebas” dibuka. Sesungguhnya yang urgen adalah legalitas sebagai badan penyelengaraan perguruan tinggi. Dan ini telah dimiliki oleh STAIN Bukittinggi berdasarkan Keppres No.11 Tahun 1997. Berdasarkan penjelasan di atas, maka SE dari segi muatan tidak merupakan norma hukum. Oleh karenanya, tentu SE tidak dapat dijadikan dasar hukum sehingga melanggarnya juga tidak dapat dipandang sebagai bentuk penyalahgunaaan wewenang. Di sisi lain, secara de facto, penyelenggaraan pembukaan program studi secara umum dilakukan oleh seluruh PTAIN dan PTU melalui mekanisme penyiapan mahasiswa, prasarana dan sarana, tenaga pengajar dan lain-lain sebagai hal yang niscaya sebelum keluar izin operasional. Dalam kerangka inilah Ketua STAIN Bukittinggi mengangkat Ketua Prodi termaksud dan berbagai perangkat yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan bagi keluarnya rekomendasi dari Kemendikbud dan izin operasional dari Kementerian Agama RI. Jika JPU menganggap ini sebagai penyalahgunaan wewenang, maka hal yang sama bisa dialamatkan kepada PTAIN dan PTU yang ada di Republik ini.

Penyiapan mahasiswa, tenaga pengajar, prasarana dan sarana dan lain-lain berjalan sesuai mekanisme hingga keluarnya izin operasional. Melalui upaya kerja keras dan berkelanjutan, STAIN Bukittinggi pada pada tahun 2011 telah resmi mengantongi rekomendasi dari Kemendikbud dan izin operasional dari Kementerian Agama RI untuk 11 program studi yang dimiliki oleh STAIN Bukittinggi, termasul 5 (lima) program studi yang dipermasalahkan, yaitu prodi Pendidikan Matematika, prodi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer, Pendidikan Bimbingan Konseling dan Pendidikan Bahasa Inggris. Sedangkan prodi Pendidikan Guru Madrasah Islam (PGMI) sesuai arahan Kementerian Agama dilakukan passing out ke prodi terdekat. Bahkan, pada tahun 2013 program studi yang ada di STAIN Bukittinggi semuanya sudah terakreditasi dari BAN-PT.

Terkait unsur merugikan Negara ataupun potensi menimbulkan kerugian (potencial losse), JPU menyebutkan bahwa maksud kerugian negara adalah menjadi rugi keuangan Negara atau berkurangnya uang negara. Dalam konteks kasus STAIN, kerugian negara yang disebut oleh JPU adalah tindakan Ketua STAIN mengelontorkan dana DIPA ke prodi baru yang izinnya sedang proses terdiri dari pembayaran honor, insentif dan uang transportasi dosen tetap dan dosen luar biasa serta beasiswa mahasiswa miskin dan berprestasi dari tahun 2007 s.d 2010 sebesar Rp.722.963.000. Sebagai dokumen pembelanjaan, DIPA STAIN telah disahkan oleh Kementerian Agama dan DPR. DIPA tersebut memuat biaya operasional 11 prodi (termasuk 5 prodi yang izinnya sedang proses). Lebih rinci lagi, DIPA memuat empat besaran jenis belanja; belanja pegawai, barang dan jasa, modal dan sosial. Pengeluaran honor dan insentif dan biaya transpor-tasi dosen tetap dan luar biasa serta beasiswa miskin dan berprestasi merupakan pos pengeluaran yang sudah ada dalam DIPA dan termasuk dalam 4 besaran jenis belanja.

Satu hal lagi seperti terungkap dalam sidang sejak dibukanya 5 prodi baru tersebut, uang yang masuk ke kas negara dalam bentuk uang kuliah (SPP), praktikum sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 1.519.800.000,- sementara pengeluaran guna membiayai prodi baru tersebut Rp.581.254.000,-. Tentu terdapat kelebihan setor ke Kas Negara alias negara untung Rp. 938.546.000. Secara terang benderang uang negara bertambah bukan berkurang (losse). Di persidangan juga muncul fakta, satuan kerja di bawah Kemenag RI, STAIN Bukittinggi selalu diaudit oleh Irjen, BPKP dan BPK tiap tahun dan temuanya nihil. Dr, Suparta, MA, sebagai Inspektur Jenderal beserta Auditor dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya penyimpangan dalam pengunaan dan kerugian keuangan negara. Malah tahun 2009, STAIN Bukittinggi menerima penghargaan atas keberhasilan dalam menyelesaikan Saran Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Itjen, BPK RI dan BPKP.

Bapak-bapak yang Kami muliakan. Keputusan Bebas Murni yang diberikan oleh Pengadilan Tipikor Padang kepada Ketua STAIN Bukittinggi merupakan penghormatan institusi Pengadilan Negeri kepada institusi pendidikan dan profesi Kami. Keputusan Bebas Murni tersebut dilihat dari berbagai aspek sudah merupakan keputusan yang sangat adil. Sebab, dengan pengembangan program studi tersebut masyarakat terlayani. Melalui pengembangan program studi yang Kami lakukan sesuai prosedur yang berlaku itu, kampung kecil Kami bernama Bukittinggi kini dibanjiri para mahasiswa yang datang dari berbagai provinsi yang berbeda. Tentu saja dengan mem-bludaknya anak-anak bangsa yang mengais ilmu pengetahuan dan keagamaan di kampus STAIN, Kami sangat senang karena di sisi lain roda ekonomi masyarakat di kampung Kami menjadi lebih hidup dan lebih maju. Namun, ternyata Mahkamah Agung memutuskan bahwa Ketua STAIN Bukittinggi didakwa terbukti secara bersama-sama dan berlanjut melakukan perbuatan korupsi dengan hukuman penjara selama dua (2) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Keputusan MA ini dirasakan sangat tidak adil dan tidak fair. Kami memohon dari nurani Kami yang paling dalam agar Bapak yang mulia tidak menghukum Kami dengan hukuman yang tidak sepantasnya Kami terima. Kami ingin menyentuh nurani dan logika sehat Bapak-Bapak yang mulia agar memperlakukan Kami dengan adil. Kami menginginkan keadilan yang seadil-adilnya.

Kami para dosen, karyawan dan mahasiswa STAIN Bukittinggi yang gagap dalam berpolitik hanya berteriak “Oh Bapak Kami Artijo Alkostar Jangan Kriminalkan Dunia Kami…!”; “Oh Bapak Kami Deni Indrayana, tolong dengar suara Kami, tolong bantu Kami, tolong bebaskan Ketua Kami dari penganiayaan hukum yang tidak sepantasnya Kami terima…!” “Bapak Kami, Ketua MK di Jakarta tolong nyalakan kembali cahaya yang menerangi langkah progressivitas pendidikan di kampung Kami!”; “Yang terhormat Bapak Ketua KY, Kami mohon curahan energi positif Bapak untuk mengenali, mencermati dan mewujudkan keadilan yang semestinya harus Kami terima..!” dan Kepada Inyiak Kami di Jakarta, Bapak Karni Ilyas, “tolong suarakan keadilan untuk Kami, dan sampaikan harapan ini kepada orang-orang yang bisa membantu Kami!” Kami hanya minta diselamatkan, selamatkan dunia Kami, Dunia Pendidikan.

Di atas semua harapan dan permintaan ini, “Ya Allah, Yang Maha Mendengar dan Maha Adil, Selamatkan Kami, Bebaskan Ketua STAIN Bukittinggi dari fitnah hukum ini, Selamatkan Bangsa dan Negara Kami..!” Semoga mendapat perhatian dan dukungan moral dari semua pihak yang membaca surat terbuka ini.

Wallahul Muwafiq ilâ Aqwamit Tariq.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber : FB GDI
https://www.facebook.com/groups/DiktiGroup/permalink/760217490655752/

Terharu Didukung Mahasiswa, Minta Jaksa Belajar Lagi

Haru Biru Pembelaan Ismail Novel, Ketua STAIN Bukittinggi

Beberapa jam sebelum ditahan, Ketua STAIN Ismail sempat bergabung dengan ribuan mahasiswa di halaman Kantor Kejari Bukittinggi.
Wartawan: Iwan R | Editor: Redaksi

Diprotes Mahasiswa, Ketua STAIN Bukittinggi Tetap Ditahan

Ketua STAIN Bukittinggi saat berorasi di halaman Kejari Bukittinggi sebelum dieksekusi ke Lapas Biaro, Rabu (26/03/2014) (Iwan R)

SATU JUTA Dukungan Pembebasan Ketua STAIN Bukittinggi