Suara Dosen
Mempetisi Presiden RI
Presiden RI: Petisi Mendesak Revisi Perpres 88 Tahun 2013 dan Perpres 65 tahun 2007
Kepada Yang Terhormat
Presiden Republik Indonesia
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
Pada tanggal 11 Desember 2013 telah disahkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
(selanjutnya disebut Perpres 88/2013) mengenai Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, dalam Pasal 3.1.f. Perpres ini menyatakan bahwa dosen dikecualikan sebagai penerima Tunjangan Kinerja di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lahirnya Perpres 88/2013 menunjukkan ketidakadilan pemerintah terhadap profesi dosen di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal di saat yang sama dosen-dosen di Indonesia dituntut untuk memacu produktivitas dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi agar dunia pendidikan tinggi Indonesia bisa berkompetisi secara global.
Berkaitan dengan lahirnya Perpres 88 Tahun 2013 tersebut, ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan:
1. Perpres 88/2013 pasal 3.1.f menyandingkan ”Dosen dan Guru“ sebagai pihak yang dikecualikan sebagai penerima Tunjangan Kinerja. Dalam pandangan kami, Perpres ini gagal memahami status kepegawaian dosen sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pusat dan guru sebagai PNS daerah. Seharusnya dosen sebagai PNS pusat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki hak yang sama dengan PNS lainnya yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat. Sementara guru sebagai PNS yang berada di bawah naungan Pemerintah Daerah.
2. Salah satu alasan yang paling sering didengar mengenai dikecualikannya dosen di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mendapatkan Tunjangan Kinerja adalah karena adanya Tunjangan Profesi berupa Sertifikasi Dosen. Menurut hemat kami, Tunjangan Kinerja dan Tunjangan Profesi (Sertifikasi) Dosen berbeda dalam banyak hal. Pertama, Tunjangan Kinerja menempel pada status PNS secara otomatis, lantas diukur aspek pengurangnya (ketidakhadiran, dsb). Sedangkan Sertifikasi Dosen didapatkan secara bertahap, melalui antrian panjang dan proses yang semakin lama semakin sulit (TOEFL, TPA, dsb.). Pertanyaan kami, apakah seluruh dosen di bawah Kemdikbud sudah lolos Sertifikasi Dosen? Jika ya, berapa persen yang sudah? Kedua, dosen yang sudah tersertifikasi tidak mendapatkan Tunjangan Sertifikasi Dosen ketika Tugas Belajar. Padahal di banyak instansi yang pegawainya mendapat Tunjangan Kinerja, ketika Tugas Belajar, tunjangan kinerjanya tetap dibayarkan (dengan prosentase beragam). Ketiga, besaran Sertifikasi Dosen setara setiap dosen, dalam arti sesuai gaji pokok pangkat/golongan. Beda satu golongan dengan golongan lain sedikit saja. Sementara besaran Tunjangan Kinerja berdasarkan kelas-kelas tertentu (Job Class) secara bertingkat.
3. Perpres 88/2013 menunjukkan bahwa di kalangan Pemerintah Pusat pun, rupanya para dosen di bawah Kemdikbud mengalami perbedaan perlakuan. Dosen di instansi lain seperti STIA LAN dan APP Kementerian Perindustrian misalnya, sebagaimana PNS Pusat yang lain, mendapatkan tunjangan kinerja berdasarkan job class sesuai Tunjangan Fungsional yang dimiliki. Walaupun kami paham bahwa dosen tidak akan mendapatkan Tunjangan Kinerja dan Sertifikasi Dosen secara bersamaan, namun mendapatkan selisihnya. Lalu, mengapa dosen di Kemdikbud mesti didiskriminasi?
4. Selanjutnya, mengapa tidak diatur saja seperti penerima Tunjangan Profesi lain bahwa yang dibayarkan selisih antara Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kinerja? Bagi negara ini juga tidak membebani anggaran terlalu besar, namun memberi keadilan terutama bagi dosen-dosen yang belum tersertifikasi dan dosen-dosen yang sedang Tugas Belajar.
Dengan disahkannya Perpres 88/2013, kami, dosen di bawah naungan Kemdikbud, merasa kawatir dengan dampak buruk sistemik kebijakan ini terhadap kualitas pendidikan tinggi Indonesia ke depan, seperti: orientasi berlebih pada jabatan struktural, enggannya anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi dosen, dan motivasi kerja yang melemah. Sedangkan pada saat yang sama kita semua sedang berupaya keras mewujudkan World Class University. Bukankah ini sebuah ironi?
Oleh sebab itu, kami mendesak dua hal berikut:
1. Pemerintah agar merevisi Perpres 88/2013 dengan mencabut pengecualian dosen di bawah Kemdikbud sebagai pihak yang tidak berhak mendapatkan Tunjangan Kinerja. Hal ini juga untuk membangun kesetaraan antara dosen Kemdikbud dengan dosen di instansi pemerintah pusat lainnya.
2. Pemerintah agar merevisi Perpres 65 Tahun 2007 tentang Tunjangan Fungsional Dosen. Perpres tersebut sudah berumur enam tahun dan menempatkan Tunjangan Fungsional Dosen jauh berada di bawah Jabatan Fungsional yang lain. Padahal dosen dituntut untuk berpendidikan sampai jenjang doktor dan selain mengajar juga harus melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kenaikan Tunjangan Fungsional ini juga relevan dengan semakin sulitnya mendapatkan kenaikan jabatan fungsional dosen dengan adanya Permenpan & RB no. 17 Tahun 2013. Setidaknya Tunjangan Fungsional Dosen bisa setara atau lebih dari Tunjangan Fungsional Peneliti.
Demikian petisi ini kami sampaikan, untuk pendidikan tinggi Indonesia yang berkualitas.
Salam,
Dosen Indonesia
Sumber : https://www.change.org/id
Dengan direvisinya Perpres 88 ini akan mengakibatkan molornya tunjangan peningkatan kinerja (TPK) yang akan segera diterima oleh Tenaga Kependidikan yang selama ini belum menerima tunjangan profesi apapun khususnya tenaga kependidikan yang ada dibawah naungan Kemdikbud, jika seorang dosen penerima tunjangan dosen, juga menerima TPK, maka bisa dibayangkan berapa uang yang akan diterima oleh seorang dosen dalam satu bulan, Jika nanti Prepres No. 88 ini akan dirubah kami minta kepada pemerintah khususnya presiden agar hak-hak tenaga kependidikan jangan ditunda pembayarannya
Benar dik Perpres no. 88 ini juga tidak adil terhadap para petugas non dosen, karena di pasal 3 butir (1) a, agak aneh kenapa Perpres-Perpres Tunjangan Kinerja di tahun 2011 dan 2012 ada cantumkan kalimat yang berhak terima adalah Pegawai Kemdikbud yang mempunyai tugas/pekerjaan/jabatan tertentu, kenapa Perpres ini kata tugas/pekerjaan dihilangkan sehingga bisa jadi banyak unit kerja menolak beri tunjangan ke petugas yang tak memiliki jabatan walau memiliki tugas dan pekerjaan tetap dengan beban kerja yang tinggi, tunjangan kinerja akan memicukan kecemburuan sosial kalo hanya dinikmati oleh para pejabat yang sudah cukup sejahtera, kita juga maklum yang benar-benar keja adalah para petugas, kalo kinerja mereka turun apa para pejabat sanggup melaksanakan tugas mereka ?
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201929970439473&set=gm.690952254276514&type=1&theater
institusi yang berstatus otonom pasti selalu bicara tentang profesionalisme.. tetapi sudahkah benar-benar melaksanakannya… seandainya ‘Ya’.. apapun bentuk kegiatan sekecil apapun perbuatan pekerjaan hendaknya selalu ditempatkan dalam koridor profesional….selama ini tenaga administrasi baik itu agedaris, arsiparis, programer komputer, analisis keuangan, analisis kepegawaian belum mendapat tunjangan yang seharusnya…. walaupun dalam nomenklatur kepegawaian sudah diterakan dalam analisis jabatan..dan itu ditetapkan sebagai jabatan fungsional tenaga administrasi, mereka selalu tidak protes dan inferior…tidak menuntut tunjangan fugsional…..padahal seharusnya mereka mendapat tunjangan itu .. alih-alih mendapatkan tunjangan fungsional dengan terbitnya PERPRES nomor 88 Tahun 2013..presiden menetapkan tenaga administrasi untuk mendapatkan tunjangan kinerja… mereka terjegal lagi dengan berbagai alasan yang jelas secara langsung dan tidak langsung karena ambisi-ambisi oleh komunitas yang merasa menjadi pemilik pekerjaan di institusinya.. jika diibaratkan di lingkungan perguruan tinggi mungkin dari sekelompok dosen…sekali lagi mereka manut-manut saja walau hatinya telah menyimpan bara yang panas ibarat bara dalam sekam… dan entah kapan itu akan menjadi nyala yang besar yang akan mebakar segala yang menghalanginya di suatu saat nanti…tenaga mereka belum bisa terhimpun secara terpusat …karena kondisi karakternya telah terbunuh
Menurut saya ini bukan persoalan adil atau tidak adil, mari kita buka wawasan pernahkah para dosen kita ini memkirkan bagaimana dengan PNS administrasi golongan I, II, III yang selama ini tidak mendapat tunjangan selain gaji. Penghasilan paspasan, membiayai keluarga dan anak anak. Sementara dosen mendapat gaji, tunjangan dosen, sertifikasi, honor lain (yang kerjaannya masih jam kerja kantor). Oleh karena itu para dosen sabar aja dulu, tidak mendiskusikan terlalu jauh tentang tunjangan saja, pelaksanaan perpres ini masih berproses. Ketika para dosen mendapatkan tunjangan sertifikasi Guru besar dapat tunjangan kehormatan, para tenaga administrasi/tenaga kependidikan tidak ada yang mendiskusikannya seperti ini, apa lagi sampai menyebut “diskriminatif”. Mari kita berfikir untuk sejahtera bersama, makmur bersama, kita bekerja bersama untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dik Hasby Muhammad sebenarnya PNS yang tak peroleh tunjangan struktural dan tunjangan fungsional BERHAK tunjangan umum yang diatur oleh Perpres no. 12/2006 tentang tunjangan umum http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/Perpres%2012%20-%202006%20-%20TUNJANGAN%20UMUM%20PNS.pdf hanya saja nilainya tak besar dan banyak yang tak tahu, mereka juga berhak peroleh tunjangan beras, tunjangan keluarga, askes, uang makan dan uang lembur.
BTW hak peroleh tunjangan kinerja untuk Tendik/Petugas di Perpres 88/2013 cukup memiliki landasan hukum karena termasuk di pemangku JABATAN FUNGSIONAL UMUM yang kerja penuh waktu:
http://www.kopertis12.or.id/2013/12/19/tunjangan-kinerja-pns-kemdikbud-adakah-bagian-untuk-para-petugas-tendik.html
Sukses selalu, salam, Fitri.
Semoga dengan adanya petisi untuk merevisi perpres 88 tahun 2013 dan 65 tahun 2007 merupakan gerakan awal bagi dosen untuk lebih kompak dalam memperjuangkan masa depan dosen. Mudah-mudahan ada asosiasi atau perkumpukan profesi dosen yang peduli pada masa depan dosen. Saya mendukung petisi ini 100%.
Hmmm….inilah manusia, yang selalu mempunyai sifat tidak pernah puas, selalu iri dengan penghasilan/pendapatan orang lain, mereka tdk akan pernah puas terus sampai kapanpun. Sedikit menambahkan pendapat yg lain, pernahkah para tenaga kependidikan melakukan protes terhadap kebijakan adanya tunjangan sertifikasi dosen/guru ? mereka lebih menerima apa adanya, mereka lebih sabar, mereka lebih mengerti tentang tusi masing2, mereka lebih memaklumi kemampuan pemerintah.
Mari kita lihat lagi, sadarkah bpk/ibu dosen bahwa selama ini pendapatan bpk/ibu untuk satu jenis kegiatan telah dibayar dari berbagai pos sumber dana ? mari kita lihat contoh, sadarkah bahwa kegiatan mengajar bpk/ibu dosen yang terhormat telah dibiayai dari berbagai sumber ? (1) sebenarnya itu sudah kewajiban karena bpk/ibu sudah melekat dan dibayar melalui tunjangan fungsional, (2) bpk/ibu juga mendapat honor mengajar dari institusi masing2, (3) bagi yg sudah mendapat tunjangan seritikasi (karena kegiatan mengajar tsb menjadi salah satu komponen penilaian dalam mendapatkan tunjangan tsb). Jadi kita lihat, bukan lagi terjadi double funding, tapi triple funding, padahal pemerintah selalu mendengungkan aturan jangan sampai ada pembiayaan yg double funding. Itu salah satu contoh saja, belum kegiatan lainnya. Sebenarnya kami memaklumi, karena dosen merupakan ujung tombak dalam sebuah institusi perguruan tinggi. Namun jika ternyata masih juga merasa iri , entahlah apa namanya nanti ?
Dosen diwajibkan menuntut ilmu lagi (S2 dan S3). Dosen diwajibkan untuk melakukan tri dharma: pengajaran,penelitian dan pengabdian. Otak dan fikiran serta fisik harus bekerja keras untuk melakukan itu semua. Apakah wajar jika gajinya sama dengan orang yang hanya menggunakan fisik dan fikiran sekedar saja? Maka tidak ada bedanya antara orang yang berilmu dengan tidak berilmu. Maka tunggulah kehancuran negeri ini. Terjemahan Al Qur’an, saya lupa suratnya: Apakah sama orang yang berilmu dengan tidak? Orang yang berilmu satu tingkat di atas orang yang tidak berilmu. Maka orang-orang di negeri ini akan berlomba-lomba untuk menjadi penyanyi atau artis, karena gajinya lebih banyak dibanding harus bersusah payah menuntut ilmu setinggi-tingginya untuk menjadi dosen, toh gajinya sama dengan orang yang tidak sekolah tinggi
Sayang sekali, jika ada seorang dosen bisa berpendapat seperti Ibu Mimi…, padahal saya tdk bermaksud melecehkan seorang dosen, bahkan seperti yg saya tulis, dosen merupakan ujung tombak dalam sebuah institusi perguruan tinggi, itu artinya kami mengakui bagaimana pentingnya posisi dosen, oleh karena itu kami tak pernah protes jika ada usaha pemerintah memajukan peningkatan kesejahteraan dosen, dengan sertifikasi dosen misalnya. Memangnya cuma dosen saja ya yg bisa menuntut ilmu sampai S2 dan S3, sekarng banyak kok tenaga kependidikan juga yang studi S2/S3, dan itu bukan sok-sok an, tapi karena tuntutan untuk dapat melayani lebih baik termasuk melayani dosen. Saya gak habis pikir, bagaimana ibu bisa menyatakan kalau tendik hanya menggunakan fisik dan fikiran sekedar saja ? tanpa tendik proses kenaikan pangkat ibu mungkin tdk akan berjalan mulus, misalnya. Saya sangat heran jika ibu menyatakan kami orang yang tidak berilmu, jika kami tidak berilmu maka kami tidak akan dapat bekerja. Sayang sekali pernyataan yang membawa-bawa nama Al Quran, tapi pernyataannya justru menghina, yang justru itu diluar dari ajaran Al Qur’an. Kalau ibu merasa sebagai seorang dosen gajinya tdk setinggi seperti seorang artis/penyanyi (seperti kalimat yg ibu sampaikan), kenapa bu ga jadi artis saja ? jangan jadi dosen. . Kami walau sbg tendik memahami posisi kami di bawah dosen, tapi kami tetap tak mengeluhkan apa yang sekarang ini kami dapatkan. Tapi saat kami mendapatkan kesempatan utk mendapatkan hal yg lebih baik, tentu kami akan berusaha utk berbuat yg lebih baik dan yang lebih penting ga pernah tuh iri dengan artis/penyanyi :), karena inilah pilihan kami, menjadi PNS yg berusaha memberikan konstribusi yang terbaik yang kami punya sesuai tugas kami.
Seharusnya, yg harus dilakukan jika ingin protes, bukan petisi thdp perpres 88/2013 ini, tapi proteslah sejak sebelum perpres ini keluar, knp beberapa komponen pemberian kinerja sertifikasi kok hampir sama saja dengan komponen mendapatkan tunjangan fungsional misalnya. Kenapa ga mengajukan saja, misal minta naikkan saja tunjangan fungsional senilai tunjangan sertifikasi (jika perlu lebih dari itu), sehingga ga mengandung unsur satu jenis kegiatan tapi dibiayai dari beberapa pos dana.
Ysh. Bu Mimi, mohon maaf jika ada kalimat saya yang tdk berkenan, ini hanya sebuah pendapat saja. Mudah2an ibu mendapatkan kebaikan… Aamiin.
Jadi ini bukan hanya sekedar iri atau tidak iri
Alhamdulillah, ternyata tenaga tendik lebih mengerti daripada tenaga pendidik dalam memahami perpres/uu, dan tidak hanya menggunakan tenaga fisik dan fikiran sekedar saja, tetapi lebih menggunakan akal dan pikiran sehingga mampu menghayati dan menerjemahkan sebuah peraturan dan tidak semata-mata hanya memikirkan materi, semoga lebih banyak lagi tenaga tendik yang dapat mematahkan tenaga pendidik yang arogan dan selalu menganggap tenaga tendik hanya warga kelas dua…..bravo.. mas fatur…Wassalam
Walaupun kita tidak sekolah seperti Bapak dan Ibu dosen yang terhormat tapi ternyata tenaga kependidikan lebih menggunakan hati dan fikiran dalam melihat perpres tsb. Kalau pemerintah harus memenuhi petisi Bapak dan Ibu Dosen yang terhormat, itu namanya tidak adil dong. Untuk ysh ibu Mimi gak perlu membawa ayat Al-Qur’an (kalau memang ibu gak hafal), ibu tahukan merendahkan orang itu dosa dan itu yang telah ibu lakukan pada kami (tenaga kependidikan). Bravo untuk mas Fathur,
Jika diperhatikan dan ditelaah secara seksama sebenarnya perpres nomor 88 tahun 2013 itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. oleh sebab itu, otomatis perpres dimaksud bertentangan pula dengan Sumpah Jabatan Presiden RI seperti diatur dalam Pasal 9 UUD 1945… coba analisa secara seksama……….23/12/2013
EH ternyata ujung dari diterbitkaannya perpres 88 tahun 2013 ini berujung adanya polemik antara dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan kemendikbud…saya melihat selintas komentar-komentar di atas tadi…. saya jadi punya kesan kok sepertinya perpres 88 ini jadi semacam batu uji untuk mengadu domba antar pegawai kemendikbud…..saya menghimbau kepada dosen dan tenaga kependidikan agar tidak masuk dalam ruang konflik semacam itu…. saya khawatir kalau ini berlanjut menyebabkan suasana yang tidak harmonis di antara keduanya……..bagi saya semua warga negara harus diperlakukan sama sesuai Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dan semua pegawai harus pula mendapatkan imbalan dan penghargaan yang sama sesuai Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. jadi mari dengan kepala dingin untuk memperjuangkan antar sesama PNS, bukannya masuk dalam ruang konflik…..seperti di atas….. semoga kita lebih dewasa menyikapi persoalan………dan semoga kita diberikan kesabaran menghadapinya……Amin.
Saya berprinsip, apabila seseorang bahagia karena sesuatu hal yang baik maka orang lain seharusnya turut bahagia. PNS di lingkungan Kemendikbud, selain yang disebutkan pada pasal 3, pasti merasakan kebahagiaan dengan adanya Perpres no. 88/2013 dan saya pribadi selaku dosen ikut bahagia. Tetapi saya yakin Perpres 88/2013 akan diikuti dengan persyaratan kinerja yang sesuai. Saya contohkan seorang dosen harus memenuhi UU minimal 12 SKS (Tridharma PTdan penunjangnya) dan masih ada lagi persyaratan SIPKD, belum lagi persyaratan minimal jenjang pendidikan yang harus ditempuh.
Saya yakin Perpres 88/2013 ini setidaknya diikuti oleh hal yang anologinya serupa. Bagi yang mendapatkan tunjangan kinerja sudah seharusnya siap dengan konsekuensi nantinya dan mau mengembangkan kemampuan dirinya yang berikaitan dengan jabatan yang diampu.
Membaca diskusi di atas ada beberapa hal yg perlu dicermati:
1) Petisi itu ditujukan pada Presiden, bukan pada pegawai non dosen karena unsur ketidakikhlasan. Tentu para dosen sangat berbahagia dengan adanya tukin untuk para tenaga kependidikan. Jadi bukan polemik antara dosen dan tenaga kependidikan
2) Bahwa setiap orang akan menyikapi kebijakan tersebut dengan cara masing-masing, misalnya tetap ikhlas dgn yg ada, bersyukur, … pasti karena kita orang yang beragama. Akan tetapi bukan itu poinnya, sebuah kebijakan tidak bisa ditarik ke wilayah pribadi. Ia adalah bagian dari konstruksi bernegara, tentu saja harus selaras dengan seluruh tata aturan baik di atasnya maupun ke bawah, dan peka terhadap realitas keseluruhan yang obyektif.
Secara sederhana, kebijakan seharusnya adil tak diskriminatif
3) Dosen tidak menuntut tunjangan melebihi aturan yang ada, dobel, apalagi tripel, …dst. Tentu kita paham mengenai prinsip tak boleh ada duplikasi dalam hal tunjangan
4) Hampir separuh dosen belum mendapat tunjangan kinerja, karena memang harus antri, atau sedang tugas belajar. Tak ada yg memikirkan kelompok in, padahal beban pekerjaan yg sama (alhamdulillah … tetap bersyukur atas Tunjangan Langsung dari Tuhan, dengan rumus rizkiNya yg berbeda dengan matematika biasa)
5) Tak ada diskriminasi untuk fungsional dosen di lembaga lain di luar kemendikbud, dan haknya tidak dipreteli saat tugas belajar. Ironi terjadi justru di jantungnya pendidikan.
Demikian, mohon maaf atas sgl kehilafan
sejak diberlakukan ketentuan mengenai REMUNERASI melalui PP No 23 TAHUN 2005 dan ditetapkan oleh presiden pada tanggal 13 juni 2005.. sampai sekarang kami PNS TENAGA ADMINISTRASI pusat yang diperbantukan pada pergurruan tinggi bekas PT BHMN dan kini berubah bentuk menjadi PTN – BH dengan statuta yang baru ditetapkan di jakarta pada tanggal 28 februari 2014… tidak menerima tunjangan kinerja seperti besaran yang telah ditetapkan melalui PERPRES NO 88 tahun 2013 yang diikuti oleh PERMENDIKBUD No 107 tahun 2013 dengan petunjuk pelaksanaan pembayaran tunjangan kinerja PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN NO 53 TAHUN 2013….. sedangkan Dosen pada tahun yang sama melalui UU NO. 14 TAHUN 2005 ..yang Disahkan oleh presiden pada tanggal 30 desember tahun 2005 dan diikuti oleh PP NO. 41 TAHUN 2009 dan ditetapkan di jakarta pada tanggal 8 juni 2009 sudah bisa mendapatkannya…belum kemudahan lain dalam mendapatkan insentif…baik dari kegiatan proyek-proyek…nyambi di tempat lain atau membuka warung di luar tempat dia berdinas…. kami tidak pernah protes seperti yang dilakukan mereka.. apalagi dengan mendiskreditkan seperti yang dilakukan mereka