Pertanian yang Berdaulat

Jumat, 8 November 2013 oleh SUWIDI TONO

INSTITUT Pertanian Bogor tahun ini genap 50 tahun. Ketika berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Kampus IPB (1952), Bung Karno mewanti-wanti: pangan adalah soal hidup-mati bangsa.

Kini kita mendapati kondisi ketahanan pangan nasional rapuh, menjurus runtuh. Pendulum politik pertanian berubah drastis: dari sentralistis ke liberal. Dari prioritas utama dengan dukungan kelembagaan, bantuan teknis, kucuran kredit murah, dan aneka subsidi, tergeser jadi periferal dan cenderung berjalan sendiri. Dari kontrol ketat tataniaga ke mekanisme pasar terbuka yang menabukan hambatan tarif dan nontarif. Kontras ini menunjuk absennya keberpihakan, kesinambungan, dan koreksi kebijakan. Bukan semata-mata akibat bekerjanya rezim globalisasi perdagangan. Jejaknya dapat ditelisik mulai dari revolusi hijau di komoditas beras sejak program Bimas 1969 hingga meluas ke komoditas palawija, hortikultura, tebu (gula), peternakan, dan perikanan.

Revolusi hijau dengan mantra better farming-business-living-community pada perjalanannya ternyata tak murni sebagai desain rekayasa sosial dan ekonomi yang menjadikan petani dan pertanian sebagai subyek: dari mana perubahan, otoaktivitas bermula dan terus bergulir. Seluruh daya upaya, di mana ahli-ahli IPB intens terlibat dalam program Bimas, Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, pemberdayaan wanita pedesaan (Pusat Studi Wanita pertama di Indonesia didirikan di IPB 1991 oleh Prof Pudjiwati Sajogyo), dan inovasi lain, mandek begitu saja.

Sumbangsih UGM lewat BUUD/KUD untuk mendukung kelembagaan usaha pertanian juga tak berlanjut. Prestasi swasembada beras 1984-1989 dan pertumbuhan pesat produksi pangan utama lain yang diraih melalui proses panjang dan mahal gagal dipertahankan.

Identifikasi masalah

Semua berantakan karena politik menumpang program, menjadikan petani, desa, dan pertanian sebagai objek. Diseminasi program dari atas dipelihara untuk tujuan politik, tak merangsang kemandirian dan kreativitas berbasis sumber daya lokal. Saat Orde Baru berlalu, ketergantungan yang telanjur mengakar langsung berhadapan rezim liberalisasi.

Identifikasi masalah pertanian dalam hubungannya dengan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional menunjuk pada tiga kelemahan fundamental. Pertama, struktur produksi tak sehat. Input berupa sarana produksi sampai pengolahan pascapanen berbiaya tinggi. Di luar tenaga kerja dan pengairan, bahan baku untuk pupuk, pestisida, dan pakan ternak/ikan sebagian besar impor. Setelah era kredit likuiditas dihapus dan minat lembaga keuangan untuk pembiayaan pertanian tetap rendah, alokasi APBN di sektor pertanian terus merosot, terutama untuk subsidi saprodi, tata niaga, dan intervensi harga dasar komoditas utama. Muara semua ini: rendahnya margin keuntungan yang diperoleh petani. Ditambah kebijakan mempermudah keran impor, risiko usaha pertanian meningkat dan kian tak menarik.

Intensifikasi terus-menerus, meluas, dan jangka panjang juga menimbulkan deteriorisasi lingkungan. Sekitar 75 persen lahan pertanian di Jawa berkurang kualitas kesuburannya (IPB, 2011). Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia memusnahkan sumber protein hewani di sungai-sungai, waduk, dan persawahan. Kini makin sulit mendapatkan lele, wader, belut, kepiting sawah, katak hijau, dan aneka ikan lokal yang dulu berlimpah.

Kedua, transformasi ekonomi nasional ke ekonomi global tak dipersiapkan secara terencana dan terukur. Sektor pertanian paling menderita dampaknya. Bukan ekspor melainkan impor yang memimpin pertumbuhan. Defisit transaksi berjalan dasawarsa terakhir mengukuhkan fakta ini. Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang mengharamkan campur tangan negara dalam perdagangan juga memantik pertanyaan besar soal kesiapan Indonesia.

Ketiga, kita menyia-nyiakan pertanian sebagai lokus kebudayaan. Ia bukan hanya soal produksi, melainkan entitas peradaban dari mana agregasi sosial dan ekspresi komunal memiliki hak hidup dan berinteraksi dengan perubahan. Ia benteng sekaligus saringan terkuat menghadapi penjungkirbalikan nilai-nilai atas nama politik atau modernitas. Kearifan lokal dalam wujud gotong royong, rembuk desa, kerapatan adat negeri, nadran, subak, aruh baharin, maccera tasi, selain unik, liat, sekaligus melecut kesadaran merayakan Indonesia dan keindonesiaan kita. Semua bersandar pada desa, pantai, dan pertanian: basis ekonomi dan kultural.

Pengabaian atas hal ini beserta tali- temalinya berimplikasi serius. Nilai tukar petani terus merosot, pergeseran struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa tak mulus. Prevalensi gizi buruk anak balita serta angka kematian ibu dan bayi tergolong tertinggi di Asia. Ditambah ledakan tenaga kerja informal berpendidikan rendah, kualitas bonus demografi 2020-2030, menjadi tanda tanya besar.

Strategi gerilya

Kita tak bisa lagi terus-menerus menggugat peran negara dan wakil rakyat yang lalai membela petani, stabilitas harga dan pasokan pangan. Sebagian kita yang punya kesanggupan dapat mengambil alih inisiatif memberdayakan petani, desa, sembari merajut kohesi sosial. Best practices yang dikerjakan Gunung Sutopo (55) di lereng Merapi, Sleman, dengan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya lewat Sabila Farm-nya (Kompas, 16/6/2011) dapat jadi role model mengembangkan simbiosis mutualisme antara petani, peneliti, dan praktisi. Sutopo, tanpa sepetak tanah pun, sukses berbagi peran dengan petani membudidayakan aneka tanaman buah lokal dan substitusi impor. Ia aktif membagi pengalaman, memelopori dan mempromosikan model usaha taninya di banyak daerah.

Model hampir serupa dilakukan Muhamad Nadjikh (51), pengusaha asal Gresik, eksportir aneka jenis ikan, udang, dan rajungan yang bermitra dengan ratusan ribu nelayan dan ribuan pengepul di sepanjang pantai Madura, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Berkat visi usahanya, nelayan bebas dari jerat kemiskinan, tengkulak, dan dapat margin layak. Cerita sukses dua alumnus IPB yang mengawali kiprahnya puluhan tahun lalu itu memberi inspirasi keswadayaan berbobot tinggi, tanpa campur tangan dan dukungan pemerintah. Keduanya mempertautkan kapasitas sebagai man of idea dan man of action sekaligus untuk meretas belenggu kekacauan kebijakan pertanian. Mereka memimpin siasat gerilya untuk memaknai republik pertanian berdaulat.

Suwidi Tono, Koordinator Forum “Menjadi Indonesia”

Sumber: Kompas Cetak Tanggal 8 November 2013